Rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad telah runtuh dan pemimpin yang digulingkan tersebut melarikan diri ke Rusia pada hari Minggu.
Jatuhnya rezim Assad bisa menjadi akhir dari perang saudara yang berkecamuk di Suriah sejak tahun 2011 dan memporak-porandakan negara tersebut.
Bashar al-Assad telah berkuasa sejak tahun 2000, menggantikan ayahnya; Hafez al-Assad, yang meninggal pada tahun yang sama.
Sejak berkuasa, terutama sejak dimulainya perang saudara, rezim Assad telah menerapkan sejumlah kebijakan yang dianggap merugikan rakyat Suriah.
3 Kebijakan Bashar al-Assad yang menghancurkan rakyat Suriah
1. Penindasan politik dan penindasan terhadap hak asasi manusia
Salah satu aspek paling kontroversial dari rezim Bashar al-Assad adalah represi politik terhadap oposisi dan orang-orang yang menginginkan perubahan.
Sejak awal pemerintahannya, Assad melanjutkan kebijakan ayahnya, Hafez al-Assad, dengan mengekang kebebasan berbicara dan berpolitik, yang dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas pemerintah.
Ketika protes massal meletus sebagai bagian dari Arab Spring pada tahun 2011, pemerintah Bashar al-Assad merespons dengan brutal, termasuk menembak pengunjuk rasa, menyiksa tahanan, dan melakukan penangkapan massal.
Organisasi hak asasi manusia internasional seperti Human Rights Watch (HRW) dan Amnesty International telah melaporkan pelanggaran hak asasi manusia selama perang, termasuk serangan senjata kimia terhadap warga sipil, penggunaan penjara yang keras, dan pembatasan kebebasan berbicara dan media.
Menurut laporan Amnesty International pada tahun 2016 dan laporan HRW pada tahun 2019, pemerintah juga menggunakan kebijakan “tangkap dan bunuh” yang mengakibatkan ribuan orang hilang tanpa jejak.
2. Penggunaan alat kesehatan bagi masyarakat awam
Laporan Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (OPCW) menyatakan bahwa pemerintahan Bashar al-Assad telah berulang kali menggunakan senjata kimia terhadap warga sipil, sehingga melanggar hukum internasional.
Salah satu insiden paling terkenal adalah serangan gas sarin pada tahun 2013 di Ghouta, dekat Damaskus, yang menewaskan ratusan orang, sebagian besar perempuan dan anak-anak. Serangan kimia tersebut memicu kemarahan internasional dan menambah penderitaan warga Suriah yang terlibat dalam perang saudara.
Rezim Assad terus mengatakan bahwa mereka tidak terlibat, meskipun laporan OPCW membenarkan hal tersebut.
Penggunaan senjata kimia tidak hanya menghancurkan ribuan nyawa, tetapi juga menimbulkan ketakutan besar di kalangan masyarakat awam, yang terus-menerus terancam oleh senjata tak dikenal tersebut.
3. Pengusiran dan pemukiman kembali warga sipil
Rezim Bashar al-Assad juga dikenal dengan kebijakan pengusiran paksa dan relokasi warga sipil sebagai cara untuk melemahkan partai oposisi.
Salah satu cara yang digunakan adalah dengan mengepung wilayah yang dikuasai kelompok oposisi, bukan membantu mereka, dan memaksa warga sipil meninggalkan rumahnya.
Kebijakan-kebijakan ini seringkali disertai dengan bom atau pesawat yang menghancurkan infrastruktur dan memaksa warga sipil meninggalkan rumah mereka. Pemerintah mengatakan serangan udara tersebut menargetkan apa yang mereka sebut sebagai “kelompok teroris”.
Selain itu, pemerintahan Assad sering diyakini terlibat dalam kebijakan “pembersihan etnis” yang menargetkan kelompok etnis tertentu, khususnya wilayah yang dikuasai kelompok Sunni.
Hal ini menyebabkan jutaan orang melarikan diri dari Suriah dan negara-negara tetangga, sehingga menciptakan krisis pengungsi yang besar.