Sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia diwarnai dengan berbagai pemberontakan yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Salah satu protes yang paling menonjol adalah pemberontakan Madiun tahun 1948.
Disusul dengan pembantaian berdarah G30S/PKI pada tahun 1965. Namun dibalik cerita tersebut terdapat cerita kelam yang jarang terlihat tentang bagaimana PKI menyerang sekolah-sekolah asrama umat Islam (ponpes) dan ulama.
PKI tidak hanya menyasar tentara atau warga sipil dalam operasinya. Mereka merupakan kelompok yang berpandangan anti agama, mereka juga menebar ancaman terhadap ulama dan santri pesantren di pesantren yang berbeda.
PKI menilai ulama yang mempunyai peran besar di masyarakat dan terkait dengan partai Islam seperti Masyumi merupakan ancaman serius terhadap ideologi mereka. Pemberontakan mereka ditandai dengan penyerangan brutal terhadap lembaga pendidikan Islam di Jawa Timur.
3 Sekolah Islam Korban Terorisme dan Kejahatan PKI 1. Pondok Modern Gontor
Pada tahun 1948, ketika PKI di bawah pimpinan Muso mendeklarasikan negara Soviet di Indonesia di Madiun, daerah yang berulang kali dilanda serangan, termasuk Pondok Modern Gontor di Ponorogo, Jawa Timur.
Pasca penyerangan Pondok Takeran di Magetan, kelompok PKI mulai menyerang Pondok Gontor sebagai sasaran selanjutnya. Saat itu keadaan di pesantren sangat sulit. Siswa dan guru mengkhawatirkan keselamatan mereka.
KH. Ahmad Sahal dan KH. Imam Zarkasy, dua orang penting di Gontor, kemudian berkonsultasi dengan mahasiswa senior seperti Ghozali Anwar dan Shoiman Lukmanul Hakim.
Setelah banyak berdiskusi, mereka menyimpulkan bahwa memerangi pemberontak tidak mungkin dilakukan karena keseimbangan kekuatan.
Akhirnya, para siswa memutuskan untuk keluar dari kabin agar aman.
Namun ancaman PKI tidak berhenti sampai di situ. Saat para pelajar melarikan diri, komplotan PKI datang dan menggeledah Pondok Gontor.
Mereka merusak parah bangunan, menghancurkan tempat penampungan bambu, membakar buku-buku agama, kitab suci, dan tempat ibadah lainnya. PKI saja tidak cukup menindas simbol-simbol agama secara manusiawi.
Keberanian para siswa dan guru yang memutuskan untuk pindah mungkin telah menyelamatkan banyak nyawa, namun trauma kehancuran jasmani dan rohani masih ada.
2. Pondok Sabilil Muttaqien (PSM) Takeran
Sekolah Islam Sabilil Muttaqien (PSM) di Takeran, Magetan juga menjadi saksi bisu kejahatan PKI. Pada tanggal 17 September 1948, Kiai Imam Mursyid Muttaqien yang bertugas mengurus gubuk ini menjadi korban penyerangan.
Sosok Kiai Mursyid yang dianggap sebagai pemimpin muda paling berpengaruh di Magetan dinilai menjadi ancaman bagi PKI. Suatu hari setelah salat Jumat, sekelompok anggota PKI mendatangi Kiai Mursyid dan mengajaknya “berunding”.
Meski was-was dan curiga, ia melihat pesantren itu dikepung oleh orang-orang bersenjata. Kiai Mursyid menolak menerima permintaan mereka untuk hengkang.
Keesokan harinya, anggota PKI datang lagi dengan dalih Kiai Mursyid membutuhkan asistennya, Kiai Muhammad Noor, untuk mendampinginya dalam mengambil keputusan. Namun yang terjadi adalah tragedi kelam.
PKI mengambil seluruh 14 orang dari pesantren tersebut, termasuk Kiai Mursyid dan Kiai Noor, dan tidak ada satupun yang kembali. Bahkan saat ini mereka dianggap korban kejahatan PKI dan hilang.
3. Pesantren Tegalrejo
Perguruan Tinggi Islam Tegalrejo yang terletak di dekat PSM Takeran juga tak luput dari serangan PKI. Massa PKI yang mengenakan jilbab hitam dan merah menyerang pesantren secara brutal.
Mereka menangkap Kiai Imam Muly, penanggung jawab Madrasah, dengan maksud untuk menculiknya dan melakukan hal lain untuk menindas ulama. Namun kali ini para santri Pondok Tegalreja tidak tinggal diam.
Mereka dengan gagah berani melawan dan mempertaruhkan nyawa untuk melindungi Kiai Imam Mulya dari penculikan. Berkat keberanian para santri, Kiai Imam Mulyo terselamatkan dan terhindar dari nasib tragis yang dihadapi umat beragama lain di daerah tersebut.