JAKARTA – Ketua Dewan Pengurus Nasional Persatuan Produsen Tembakau Indonesia (DPN APTI) Agus Parmuji menaruh harapan besar kepada Presiden ke-8 Indonesia, Prabowo Subianto, untuk melindungi jutaan petani tembakau tanah air dari ancaman global dan berbagai regulasi.
Agus Parmuji mengatakan, industri tembakau legal saat ini dikendalikan dan diatur oleh lebih dari 480 peraturan ketat, baik fiskal maupun nonfiskal, termasuk peraturan daerah, peraturan bupati/walikota/gubernur, serta kementerian dan peraturan perundang-undangan.
Belum lagi terbitnya PP 28 Tahun 2024 dan rancangan keputusan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang perlindungan produk tembakau dan rokok elektronik yang menimbulkan penolakan banyak kalangan, termasuk penolakan ekosistem tembakau.
Ketatnya aturan yang diberlakukan UU IHT nasional juga akan berdampak pada kelangsungan hidup jutaan petani tembakau yang bergantung pada produsen rokok, kata Agus Parmuji saat berbincang di Jakarta, Selasa (29/10/2024).
Agus Parmuji menegaskan, untuk melindungi jutaan petani tembakau yang menjadi tulang punggung perekonomian negara, DPN APTI mempercayakan lima pekerjaan rumah penting kepada Presiden Prabowo Subianto. Pertama, pemerintah Indonesia tidak diwajibkan untuk mematuhi Kerangka Konvensi Pengendalian Tembakau (FCTC). Mengingat situasi di Indonesia, seperti banyak negara lain di dunia, banyak mata pencaharian masyarakatnya bergantung pada sektor tembakau.
Menurutnya, jika kerangka FCTC diterapkan di Indonesia maka akan mengakibatkan matinya pekerja, petani, dan buruh yang juga akan menghambat pertumbuhan ekonomi nasional. Padahal, hal tersebut bertentangan dengan visi dan misi Asta Cita yang ingin menyerap jutaan tenaga kerja untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Partainya juga mendukung visi Presiden Prabowo yang ikhlas memimpin negara dan bangsa, dengan mengutamakan kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
“Kami berharap Presiden Prabovo tidak meratifikasi RCBT. Pemerintah Indonesia harus mendengar suara masyarakat, terutama masyarakat yang mata pencahariannya bergantung pada industri tembakau,” tegasnya.
Kedua, meminta Presiden Prabowo memastikan Harga Eceran (HJE) rokok pada 2025 tidak berubah dan PPN tidak naik hingga 12%. “Tujuannya untuk menjaga penjualan di tengah penurunan daya beli masyarakat. Hal ini sejalan dengan program 100 hari Menteri Koordinator Perekonomian Airlangg Hartarto untuk menghidupkan kembali daya beli masyarakat yang lesu,” ujarnya. .
Agus Parmuji mengatakan fenomena penurunan tersebut ditandai dengan beralihnya konsumen ke rokok dengan harga lebih murah, termasuk rokok ilegal yang mengancam pasar rokok legal karena tekanan kebijakan non-pajak dan fiskal, belum lagi penurunan produksi dan perlambatan pertumbuhan ekonomi. penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) yang memerlukan kebijakan mitigasi. “Jutaan petani tembakau berharap ke depan akan ada keseimbangan antara fungsi kontrol dan fungsi pendapatan,” imbuhnya.
Ketiga, tarif CHT pada tahun 2025, 2026, dan 2027 tidak mengalami kenaikan untuk menjaga kesinambungan proses pembangunan kembali industri tembakau legal tanah air. Diakui Agus Parmuji, IHT nasional memiliki potensi besar dalam menyediakan tenaga kerja dan juga berkontribusi terhadap perekonomian negara (bea cukai dan pajak tembakau). Hal ini patut menjadi perhatian serius bagi Presiden Prabowo, karena tidak mudah mencari pengganti kontribusi ekonomi dari tembakau.
Keempat, mengabaikan penyederhanaan norma konsumsi dan perkiraan perbedaan tarif antar lapisan. Hal ini berisiko membuat harga rokok legal menjadi lebih terjangkau dan perokok beralih ke rokok ilegal.
“Sederhananya, yang jelas pemenangnya adalah perusahaan rokok dengan merek internasional yang produknya sangat sedikit menggunakan tembakau lokal yang dikumpulkan oleh petani. Jika diterapkan, ini bisa menjadi kiamat ekonomi bagi produsen tembakau,” jelasnya.
Kelima, seruan keseimbangan regulasi antara rokok elektrik dan rokok kretek. Sebab, tarif cukai rokok elektrik lebih rendah dibandingkan rokok kretek. “Kontribusi IHT nasional tidak bisa dianggap remeh. “Industri ini mempunyai hubungan kerja yang kolaboratif antara petani tembakau dengan industri tembakau, baik besar, menengah, maupun kecil,” ujarnya.