Kisah Keberanian Letjen Kopassus. Jenderal (Purn) Sutiyoso melakukan operasi rahasia besar-besaran di perbatasan Timor Portugis atau Timor-Timor (Timtim) yang sekarang dikenal dengan nama Timor Timur pada tahun 1975.
Foto/Ini
Sutiyoso, prajurit Komando Pasukan Khusus (Kopassus) atau pasukan TNI AD, membawa senjata anak buahnya yang terluka dalam pertempuran tersebut. Dia menyelamatkan orang-orang yang terluka dengan beban di pundaknya dan mengambil risiko tertembak dan mempertaruhkan nyawanya di medan perang.
Dalam buku “Sutiyoso Jenderal Lapangan, Totalitas Prajurit Komando” diceritakan bahwa Sutiyoso tidak makan selama lima hari saat menyelamatkan empat anggotanya yang tertembak musuh.
Saat itu, Sutiyoso yang masih berpangkat Kapten Infanteri dipanggil Kepala G-1/Inteli Pertahanan dan Keamanan Mayjen TNI LB Moerdani. Ia kemudian ditugaskan melakukan pekerjaan rahasia di perbatasan Timor Timur yang berada dalam situasi berbahaya, dibanjiri pengungsi dari Timor Timur yang meminta perlindungan.
Foto/Ini
Sutiyoso ditugaskan secara sembunyi-sembunyi atau menyamar sebelum operasi terbatas Saniyudha yang kemudian dikenal dengan Operasi Flamboyan pada awal tahun 1975. Sutiyoso adalah orang pertama yang didatangi Benny Mordani ke Timor-Leste untuk mengumpulkan informasi.
Saat itu, Satgas Intelijen Kopassus yang dipimpin Mayor Yunus Yosfiah beranggotakan 100 orang juga sedang dipersiapkan. Satgas dibagi menjadi tiga kelompok bernama Susi, Tuti, dan Umi. Setiap tim terdiri dari 100 orang yang tergabung dalam tim Operasi Flamboyan.
Tim Susi dipimpin Mayor Infantri Yunus Yosfiah bersama Wakil Komandan Infanteri Kapten Sunarto. Tim Tuti dipimpin Mayor Infantri Tarub bersama wakilnya Kapten Agus Salim Lubis.
Sedangkan Kelompok Umi dipimpin oleh Mayor Infantri Sofian Effendi bersama Wakil Komandan Infanteri Kapten Sutiyoso.
Foto/Ini
Sebagai pasukan intelijen terbatas yang dikenal dengan nama ‘Operasi Flamboyan’, ketiga kelompok tersebut berseragam dimana masing-masing agen berambut gondrong, berpakaian sipil, kaos dan celana jeans, serta topi dan syal khas Timor Portugis.
Ketiga kelompok inilah yang kemudian dikenal dengan nama Tentara Blue Jeans. Anggota juga diberi nama palsu. Sebagai ketua tim operasional Intel, Sutiyoso memilih nama Manix. Nama tersebut terinspirasi dari film mata-mata. Hingga akhirnya Sutiyoso dikenal sebagai Kapten Manix.
Foto/Ini
Di sisi lain, anggota partai UDT yang dipimpin oleh Presiden Jenderal Francisco Xavier López da Cruz melancarkan gerakan anti-komunis kontra-revolusioner melawan Fretilin pada tanggal 11 Agustus.
Namun Fretilin berhasil melumpuhkan gerakan ini. Faktanya, beberapa anggota UDT ditangkap dan dibunuh oleh Fretilin.
Pada tanggal 27 Agustus 1975, rombongan Umi yang dipimpin oleh Mayor Infantri Sofian Effendi didampingi Wakil Komandan Infanteri Kapten Sutiyoso diterbangkan ke Kupang dan kemudian ke Atambua, kota terdekat dengan Indonesia di Timor Portugis.
Foto/Ini
Setibanya di Atambua, rencana upaya invasi ke Kefamenanu untuk menguasai Ambeno dibatalkan. Rombongan diperintahkan melanjutkan perjalanan ke Motaain, sebuah desa pesisir di Republik Indonesia, hanya 3 km sebelah barat Batugede di wilayah Timor Portugis.
Namun karena situasi yang tidak memungkinkan, Grup Umi akhirnya diperintahkan untuk masuk lebih jauh ke pegunungan di selatan Viquque.
“Saya dan pasukan saya mungkin tidak dapat kembali setelah menyerang Viquque, yang jauh dari pangkalan. “Tetapi sebagai prajurit, kami selalu siap menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya, apa pun risikonya,” kata Sutiyoso.
Tak lama berawak, Grup Umi Kotabot kemudian dipecah menjadi dua, Grup Umi di bawah komando Mayor Inf Sofian Effendi memasuki Tilomar.
Sedangkan rombongan Umi yang dipimpin Sutiyoso memasuki Suai. Ini merupakan entri terjauh selama Operasi Flamboyan.
Tengah malam, saat mendekati Suai, pasukan kemudian terpecah menjadi dua, mengingat sasarannya ada dua, yakni Komando Polisi dan Komando Angkatan Darat.
Sutiyoso mengincar markas TNI. Sementara rombongan kecil yang dipimpin Lettu Bambang menuju Mapolres.
Pukul 01.00 WIB, Sutiyoso memberi isyarat untuk melepaskan tembakan. Kedua kelompok tersebut secara bersamaan menyerang markas polisi dan tentara. Terjadi perlawanan yang kuat. Setelah 20 menit bertempur, Sutiyoso melepaskan tembakan sebagai isyarat mundur dengan strategi tabrak lari.
Sutiyoso mendapat laporan Sersan Parman yang bertugas sebagai peluncur rudal tertembak di bagian kaki. Selanjutnya asisten Sarwono tertembak dan salah satu jarinya patah.
Termasuk empat anggota lainnya yang tertembak. Namun saat hendak dijemput, diketahui Sersan Parman dan Sarwono sudah pindah.
Saat mereka mengejar pasukan musuh, pertempuran terus menerus terjadi. Pergerakan kelompok Sutiyoso kembali ke Kotabot terhambat karena harus melawan dan membawa empat anggotanya yang tertembak.
Dalam pertarungan dahsyat itu, keempat orang yang tertembak “seharusnya” ditembak agar tidak kewalahan.
Bahkan para tetua yang ia hubungi melalui radio menasihatinya untuk menyerah. Tapi Sutiyoso tak tega. Sutiyoso dan 3 anggota TNI kemudian membawa kabur korban luka dengan senjata.
Di tengah serangan pasukan musuh, Sutiyoso dan kelompoknya terus berjuang mencari keselamatan. Bahkan, anggota komando Sutiyoso meminta tetap tinggal dan membawa granat. Jika tertangkap, mereka akan meledakkan diri dengan granat.
“Tidak! Aku bisa menyelamatkanmu. Kuatkan dirimu!” kata Sutiyoso.
Mereka melanjutkan. Ini tengah hari. Sutiyoso dan timnya belum makan. Rasa lapar dan haus mulai menyerang. Sesampainya dengan selamat, Sutiyoso menyalakan radio dan meminta bantuan dari helikopter.
Namun karena terbang terlalu tinggi, sinyal asap Sutiyoso tidak terlihat. Namun Sutiyoso tak mau menyerah dan Kolonel Dading kembali dihubungi untuk mengirimkan helikopter lagi.
Namun, lagi-lagi helikopter gagal melihat lima titik asap yang diciptakan pasukan Sutiyoso. Terakhir, Sutiyoso menembakkan pistolnya ke tanda hijau.
Meski usahanya berhasil. Namun hal ini juga membuat pasukan Fretilin mengetahui keberadaan pasukan Sutiyoso.
Di tengah penyerangan pasukan Fretilin, Sutiyoso menjatuhkan senjata dan kopernya untuk mengangkut anggotanya yang terluka dengan helikopter. Setelah berusaha keras, keempat anggota yang tertembak berhasil dibawa keluar dengan helikopter.
Sutiyoso bergerak lagi mencari jalan ke perbatasan. Namun seiring menyebarnya Fretilin ke mana-mana, perjalanan yang semula direncanakan 10 hari harus memakan waktu 15 hari. Jadi, dalam 5 hari stoknya habis. Tidak ada makanan, tidak ada air untuk diminum.
Lelah, lapar dan haus, mereka harus bergerak menghindari kejaran musuh. Di tempat yang dirasa aman, Sutiyoso memerintahkan pasukannya untuk beristirahat.
Namun Sutiyoso tetap bertahan dalam tidur dan kelelahan, dalam lapar dan haus. Prajurit Kopassus yang kelak menjadi Presiden DKI Jakarta tak ingin semua orang tertidur, harus ada penjaga yang sigap.
Karena kelelahan, lapar dan haus, Sutiyoso tak mau mengistirahatkan kewaspadaannya.
Dalam upaya menghindari penganiayaan Fretilin, Sutiyoso juga melarang anggotanya menembak kecuali benar-benar diperlukan untuk membela diri, karena peluru mereka hanya tersisa 20 peluru dari total 250 peluru masing-masing.
Setelah beristirahat sejenak, Sutiyoso dan pasukannya kembali bergerak menuju jalan pantai, mengingat beberapa jalan dihadang Fretilin. Satu demi satu, pasukannya maju sepanjang malam.
Hingga akhirnya mereka sampai di perbatasan dengan selamat dan masuk ke wilayah NTT. Seluruh anggota TNI selamat meski sangat kurus, termasuk Sutiyoso karena sudah 5 hari tidak makan.