JAKARTA – Presiden Depinas SOKSI Dina Hidayana prihatin dengan fenomena atau gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang masih terus melanda Indonesia. Baru-baru ini, pada 21 Oktober 2024, Sritex Group, raja industri tekstil, Soloraya dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang.
Putusan pailit berarti ketidakmampuan membayar utang, sehingga penerima menyita harta untuk membayar. Keputusan tersebut berdampak pada nasib 50.000 pekerja yang masih bergantung pada Sritex untuk penghidupan mereka.
Meski Sritex masih berupaya mengajukan banding atas keputusan tersebut, risiko pekerja dipulangkan tanpa pesangon atau hak lainnya, atau PHK (PHK), terlihat semakin terbuka.
Selain itu, Dina Sriteks yang menjabat Ketua Umum IKATANI juga mengingatkan bahwa kejadian tersebut hanyalah sebagian dari hot ball permasalahan ketenagakerjaan Indonesia, sehingga perlu dipikirkan pemikiran strategis agar tidak meluas dan berdampak negatif, terutama untuk tujuan tersebut. Indonesia Emas 2045. Memang, ancaman tahun 2030 ini muncul di era bonus demografi pada tahun 1990-an yang seharusnya menjadi tahapan penting dalam kemajuan negara.
Pemerintah berharap bisa mengabaikan PHK massal yang berdampak pada tingginya angka pengangguran, sehingga menghubungkan kemiskinan, kriminalitas, pendapatan dan produktivitas nasional, koefisien Gini, sikap apatis, dan munculnya gangguan jiwa.
“Bahkan dalam jangka panjang, jika keadaan ini terus berlanjut, instabilitas sosial politik masyarakat tentu akan berujung pada disintegrasi dan hilangnya kekuasaan negara,” kata Dina, Kamis (31/10/2024).
Sumber daya manusia (SDM) merupakan kekuatan utama dalam mengoptimalkan sumber daya nasional yang dimiliki suatu bangsa atau negara. Perselisihan personel ini bukan hanya soal kendala materil atau teknis saja.
Sebab, kecerdasan manusia tidak hanya menjadi andalan kemajuan saja, namun nilai-nilai luhur yang dijiwai Pancasila meliputi makna kemampuan beradaptasi, gotong royong, keseimbangan dan kestabilan ekosistem, sehingga keberadaan dan peranannya tidak dapat tergantikan oleh manusia. teknologi modern, jelas Dina.
Jumlah penduduk Indonesia akan mencapai lebih dari 280 juta jiwa pada tahun 2024, menjadikannya negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia atau sekitar 3,5% dari jumlah penduduk dunia. Sekitar 40 persen tinggal di daerah pedesaan. Artinya, korban pengurangan produksi akan mempunyai pengaruh sosial dan politik di kota-kota padat penduduk (60%).
Berdasarkan data BPS pada Februari 2024, angkatan kerja Indonesia mencapai 150 juta orang, dimana 95% diantaranya bekerja di dunia kerja dan proporsi pekerja formal lebih rendah dibandingkan pekerja informal. “Hal ini menunjukkan kondisi ketenagakerjaan Indonesia masih suboptimal,” kata Dina yang berasal dari Soloraya.
Dina yang berprofesi sebagai dosen dan peneliti senior ini mengatakan, alih-alih melakukan upaya strategis untuk memperkuat industri nasional dan mengurangi ketergantungan pada sumber daya nasional dan orientasi ekspor secara signifikan, tren keruntuhan ekonomi justru semakin meningkat belakangan ini. industri dalam negeri harus tetap dilestarikan, terutama pada periode terakhir pasca pandemi Covid-19.
Kedekatan impor dan minimnya dukungan pemerintah terhadap perlindungan produk lokal selalu menjadi alasan untuk menghindari tudingan tidak berdaya saingnya industri dalam negeri di tengah derasnya arus globalisasi ekonomi.
Lulusan PhD bidang Strategi Pertahanan dari Universitas Pertahanan Indonesia ini mengenang bahwa deindustrialisasi telah terjadi lebih cepat dari jadwal sejak tahun 2001. Salah satu alasannya adalah Indonesia masih mengandalkan sektor tradisional dan ekstraktif untuk pendapatan nasionalnya.
Terlebih lagi, sebagian besar tidak mempunyai nilai tambah tanpa industrialisasi dan strategi hilirisasi yang komprehensif. “Sifat industri kita yang masih stagnan tanpa adanya peta jalan sasaran jangka panjang akan semakin memperparah gejolak industri dalam negeri hingga tidak berdaya saing dalam menghadapi besarnya persaingan manufaktur global,” kata Dina.
Dina menekankan perlunya restrukturisasi pembangunan yang bertujuan untuk memperkuat industrialisasi non-produktif dan mengurangi keluarnya padat karya dari kapasitas dalam negeri, menggerakkan anak bangsa untuk mengelola dan menciptakan nilai tambah produk/bahan.
Jika pembangunan dikaitkan dengan penguatan industri, otomatis produktivitas nasional akan meningkat. Selain itu, peluang kerja di sektor formal juga terbuka dengan banyaknya tenaga kerja terdidik (highly skill labor) dan berdaya saing terhadap gempuran produk impor, sehingga pertumbuhan ekonomi dan pendapatan masyarakat dapat meningkat secara signifikan.
“Dengan demikian, dalam jangka panjang Indonesia akan tumbuh pesat dan menjadi negara maju seperti yang diharapkan,” pungkas Dina Hidayana.