JAKARTA – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) pada perdagangan hari ini ditutup melemah 77,5 poin atau 0,50% ke Rp15.724 setelah sebelumnya melemah di Rp15.646 per dolar AS. Rupiah pun dibuka melemah pada Rp15.714 terhadap dolar, mengutip data Bloomberg hari ini.
Pengamat pasar mata uang Ibrahim Assuaibi mengatakan, pelemahan rupee juga dilatarbelakangi oleh sentimen para pelaku pasar yang sebagian besar cenderung beralih ke dolar AS untuk mengantisipasi Pilpres 2024.
Ibrahim menulis dalam penelitiannya pada hari Senin: “Arus masuk ke dolar AS juga didorong oleh ekspektasi meningkatnya ketidakpastian politik di Jepang setelah koalisi memimpin “Dengan Partai Liberal yang berkuasa kehilangan mayoritas anggota parlemen dalam pemilu akhir pekan.” ). .
Pelemahan nilai tukar rupiah juga terlihat pada data JISDOR BI (Bank Indonesia) yang hari ini turun tajam ke Rp 15.729 per dolar. Posisi mata uang Garuda ini lebih rendah dibandingkan sesi perdagangan akhir pekan lalu yang berada di Rp 15.629/USD.
Kekhawatiran akan meningkatnya konflik di Timur Tengah telah mereda setelah Israel gagal menyerang fasilitas minyak dan nuklir Iran pada akhir pekan. Meskipun Teheran mengancam akan membalas serangan itu, para pemimpin Iran bercanda tentang dampak serangan Israel.
Kekhawatiran mengenai serangan Israel terhadap Iran – terkait dengan serangan pada awal Oktober – merupakan sumber ketidakpastian yang besar bagi sebagian besar pasar karena kekhawatiran bahwa setiap kerusakan pada infrastruktur minyak atau nuklir Iran akan menunjukkan peningkatan konflik yang serius.
Meningkatnya ketidakpastian mengenai pemilihan presiden AS juga diperkirakan akan meningkatkan persyaratan keamanan, terutama dengan jajak pendapat baru-baru ini yang menyoroti persaingan sengit antara Donald Trump dan Kamala Harris. Namun, dolar tampaknya mendapat manfaat lebih besar dari ketidakpastian ini.
Fokus minggu ini adalah serangkaian pembacaan ekonomi utama untuk lebih banyak indikator, termasuk data PDB AS dan Zona Euro yang akan dirilis dalam beberapa hari mendatang. Sementara data Indeks Harga PCE – ukuran inflasi pilihan Federal Reserve – akan dirilis akhir pekan ini .
Secara internal, pada tahun 2025, pemerintah harus memikul tanggung jawab untuk melunasi utang-utang yang telah jatuh tempo, termasuk utang-utang yang disebabkan oleh pembagian utang kepada Bank Indonesia selama masa Covid-19.
Berdasarkan catatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ada batas waktu pembelian Surat Berharga Negara (SBN) oleh Bank Indonesia (BI) berdasarkan Keputusan Bersama (SKBI) II senilai Rp100 triliun pada tahun 2025.
Melihat Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Laporan Keuangan Pemerintah Federal (LKPP) Tahun 2021, diketahui dari penerbitan SBN dalam rangka SKB II dan SKB III terdapat SBN berupa seri SUN dengan rate variabel. (VR) dijual eksklusif kepada BI di Pasar Utama sebagai bagian dari SKB II dan SKB III dengan total nilai Rp 612,56 triliun.
Jangka waktu pelunasannya dimulai pada tahun 2025 dengan nilai Rp 100 triliun dan akan berlanjut dengan jumlah yang berbeda hingga tahun 2029 atau berakhirnya kabinet Merah Putih.
Sementara itu, SKB merupakan komitmen pemerintah dan BI untuk menerapkan sebagian beban pembiayaan penyelesaian Covid-19. Dimana BI berperan sebagai kuasa pembeli melalui SKB I. Pada SKB II, pemerintah sendiri yang menjadi depo langsung. Sedangkan pada SKB III, pemerintah juga melakukan penyelesaian langsung, namun khusus untuk kepentingan kesehatan dan kemanusiaan.
Sementara itu, kewajiban pemerintah hanya sebagian dari total utang dan bunga yang harus dibayar pemerintah pada tahun depan.
Secara total, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat profil jatuh tempo utang pemerintah pada tahun 2025 mencapai Rp 800,33 triliun. Diantaranya adalah jatuh tempo SBN sebesar Rp705,5 triliun dan jatuh tempo pinjaman sebesar Rp94,83 triliun.
Berdasarkan data di atas, mata uang rupiah pada perdagangan selanjutnya diperkirakan akan berfluktuasi namun akan kembali ditutup melemah pada kisaran Rp15.710 – Rp15.810 per dolar AS.