Terungkap, di Jawa Barat Tak Ditemukan Candi meski Banyak Kerajaan

Terungkap, di Jawa Barat Tak Ditemukan Candi meski Banyak Kerajaan

Pada suatu waktu terdapat beberapa kerajaan besar di Pulau Jawa Barat. Tercatat, selain Kerajaan Sunda, para tetuanya tentu saja adalah Kerajaan Tharmanegara yang merupakan pendahulu Kerajaan Sunda. Jangan lupa dari Kerajaan Jaloh hingga Kerajaan Padjajaran yang terkenal dengan rajanya Siliwangi.

Namun di antara sekian banyak kerajaan di Pulau Jawa bagian barat yang kini menjadi bagian dari provinsi Jawa Barat, Jakarta, dan Banten, jarang ditemukan banyak candi.

Berbeda dengan Jawa Timur dan Jawa Tengah yang banyak ditemukan candi atau bangunan cagar budaya lainnya.

Sejarawan Krum, dalam bukunya Het Oude Java en Zijn Kunst yang kembali dikutip Anwar al-Senussi, mengatakan prasasti jarang ditemukan di Jawa Barat karena tidak ada raja yang merdeka di wilayah tersebut.

Menurut Crum, Jawa Barat, sebagaimana tertulis dalam buku Saleh Danasamit tentang sejarah Pakwan Pajajaran dan Prabu Siliwangi, silih berganti dijajah oleh Sriwijaya, Singasari, Majapahit, dan Mataram. Alhasil, Crome berpendapat bahwa kehadiran prasasti tersebut merupakan tanda adanya kerajaan yang merdeka.

Teori lain bermula dari Wertheim yang menyatakan bahwa masyarakat Jawa Barat termasuk dalam masyarakat tipe ladang, sedangkan masyarakat Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bali tergolong masyarakat tipe sawah.

Tentu saja, struktur sosial yang berbeda akan memunculkan pola budaya yang berbeda, bahkan perkembangan sejarahnya pun bisa berbeda. Komunitas Bajajajaran secara keseluruhan hampir dapat dipastikan merupakan komunitas agraris, komunitas manusia.

Ciri khas masyarakat agraris seperti di Jawa Barat adalah mereka seringkali hidup terpisah tergantung pada bidang tempat mereka bekerja. Dampaknya, karakter masyarakat pertanian menjadi lebih individualistis dan mandiri.

Berbeda dengan orang di sawah yang bekerja hanya sampai waktu pemotongan (sampai siang atau siang hari), orang di sawah bekerja sampai siang hari, dan bekerja hampir sepanjang hari. Akibatnya, hubungan dengan tetangga terbilang tegang dan jarang terjadi akibat jarak yang jauh.

Dengan demikian jelaslah bahwa perkembangan bahasa pada masyarakat agraris berlangsung lebih lambat dan dalam skala yang lebih besar dibandingkan dengan masyarakat sawah, karena kehidupan mereka berhubungan dengan sawah dan selalu tinggal di perkampungan (berkumpul).

Petani belum mengetahui adanya pemujaan leluhur berupa pemeliharaan makam. Masih belum ada kompleks pemakaman di sini, meski karena kepercayaan mereka, jenazah dikuburkan seperti di tempat lain.

Di kuburan baru, hingga hari keempat puluh, hanya tumbuh pohon hangguan (sejenis tanaman perdu yang biasa ditanam di kuburan atau di pekarangan rumah). Setelah itu, kuburan yang dimaksud kembali dianggap sebagai tanah biasa.

Sebenarnya di Jawa Barat terdapat candi-candi seperti Candi Cangkwang, namun secara umum jumlahnya kalah dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Meski perkembangan agama Hindu di Jawa Barat sangat pesat, namun nampaknya terdapat kontradiksi dengan pola budaya yang ada.

Sebab, suap pura di Jawa Barat tidak bisa berkembang dengan baik. Candi-candi berkembang pesat di Jawa Tengah, dimulai dengan pembangunan kompleks candi Dieng.

Tampaknya raja-raja Jawa Barat lebih suka mengabadikan momen dengan membuat prasasti. Kebanyakan prasasti jelas dan langsung, tidak rumit atau verbal, dan tidak menggunakan mantra atau terminologi modern.

Catatan sejarah Jawa Barat juga menunjukkan betapa raja-raja kondang seperti Vastu Kankana, Maharaja Sri Baduga atau Prabu Siliwangi lebih memilih membangun candi bukan dalam bentuk fisik melainkan hanya dengan prasasti.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *