JAKARTA – Kebijakan kemasan rokok polos tak bermerek yang dicanangkan Kementerian Kesehatan (RPMK) menuai kemarahan masyarakat luas. Salah satu penentang paling agresif peraturan ini adalah jutaan petani cengkeh dan tembakau.
Kebijakan ini diyakini akan berdampak signifikan terhadap stabilitas industri tembakau nasional dan nasib petani. Pengabaian ini berlaku bagi petani di berbagai daerah penghasil tembakau di berbagai provinsi di Indonesia.
Presiden Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Nusa Tenggara Barat (NTB) Sahminuddin menjelaskan penerapan kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek sudah lama menjadi agenda para pihak anti tembakau dan industri tembakau. Di Indonesia.
“Langkah untuk melemahkan industri tembakau secara keseluruhan sudah direncanakan dengan sangat baik. Dorongan terhadap (kemasan polos) telah lama menjadi sasaran partai-partai anti-tembakau dan anti-IHT di Indonesia,” katanya kepada media.
Dampak dari kebijakan tersebut tidak hanya berdampak pada petani tembakau dan cengkeh, tetapi juga pabrik tembakau dan pihak lain yang terlibat dalam rantai produksi hingga distribusi rantai tembakau nasional, kata Sahminuddin.
Dalam praktiknya, pendapatan pemerintah dari cukai hasil tembakau serta identitas produk dan merek yang telah lama menjadi ciri khas industri tembakau Indonesia berdampak buruk pada negara ini.
Ketika ditanya bagaimana dampak kebijakan tersebut terhadap petani tembakau dan cengkeh, Sahminuddin mengatakan dampaknya akan signifikan.
RI Melemahnya daya saing produk tembakau
Ia mengatakan, kebijakan kemasan polos tanpa merek melemahkan daya saing produk tembakau Indonesia di pasar domestik dan internasional, yang pada akhirnya berdampak pada harga jual tembakau dan cengkeh yang dihasilkan petani.
“Kebijakan kemasan tembakau polos yang multi dampak tidak hanya berdampak pada petani tembakau, tetapi juga petani cengkeh, produsen bahkan pemerintah,” ujarnya.
Penolakan serupa juga diumumkan sebelumnya oleh DPD Hasiun, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Aceh Tengah. Ia mengeluhkan minimnya dukungan pemerintah dalam menopang penghidupan petani tembakau dengan PP 28/2024 dan RPMK.
“Kami menolak keras peraturan tersebut karena berdampak pada penghidupan kami sebagai petani tembakau. “Kami meminta pemerintah mendengarkan aspirasi kami dari pulau paling terpencil di Indonesia ini,” ujarnya dalam keterangan resmi.
Penyusunan tanpa partisipasi petani Diakuinya, petani tembakau Aceh tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan peraturan yang benar-benar berdampak besar terhadap keberlanjutannya. Faktanya, Aceh memiliki lahan pertanian luas yang cocok untuk menanam tembakau, dan masyarakatnya telah menanam tanaman tembakau selama beberapa generasi.
“Undang-undang yang berlaku tidak memungkinkan petani untuk mengkomunikasikan kondisi nyata di lapangan, sehingga ketika undang-undang muncul, mereka tidak konsisten. Hampir semua orang di Aceh memiliki kemampuan untuk menanam tanaman tembakau,” tambahnya.
Perwakilan APTI DPD Jabar U.U. Harman juga sangat kritis. Ia mempertanyakan masih kontroversialnya PP 28/2024 tentang Produk Tembakau. Menurutnya, Kementerian Kesehatan berniat menghancurkan industri tembakau, termasuk nasib petani yang merupakan bagian dari ekosistem tembakau nasional.
Bahkan Harman menduga kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek bermula dari intervensi kelompok anti tembakau global. Ia mengatakan misi kelompok-kelompok ini adalah untuk melemahkan industri tembakau di seluruh dunia dan menekan pemerintah untuk mengadopsi ketentuan yang paling ketat dalam Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC). Meski Indonesia sendiri belum mendukung kebijakan global tersebut.
“Penting untuk dicatat bahwa negara-negara dengan budidaya dan industri tembakau seperti Amerika, Swiss, Kuba, Argentina jelas-jelas menolak campur tangan untuk mengatur industri tembakau di negaranya. Mengapa sekarang masih terjadi? Apakah RPMK didorong untuk dilaksanakan?