Menelaah Perlawanan Warga Dago Elos Bandung dalam Perspektif Teori Manajemen Konflik Komunikasi

Menelaah Perlawanan Warga Dago Elos Bandung dalam Perspektif Teori Manajemen Konflik Komunikasi

Muklis Effendi

Seorang veteran UPN dengan gelar Magister Komunikasi di Jakarta

Peristiwa terkait konflik sepertinya tidak pernah berakhir di Bumi Pertiwi di Indonesia. Hingga Desember 2016, sengketa lahan dengan warga Desa Dago Elos, Dago, Koblong, Bandung, Jawa Barat, yang disengketakan dengan keluarga Mueller, masih belum usai.

Lahan seluas 6,3 hektare tersebut diyakini milik George Hendrik Muller, warga negara Belanda yang tinggal di Bandung, Jawa Barat, pada masa penjajahan. Keturunannya kemudian mengaku mewarisi hak atas tanah tersebut melalui bukti Eigendom Verponding yang dikeluarkan pada tahun 1934 oleh Kerajaan Belanda.

Heri Hermawan Muller dan Dodi Rustandi Muller, selaku cucu George Hendrik Muller, bersama PT Daga Inti Graha, mengultimatum ratusan warga di kawasan itu untuk segera mengungsi.

Tuntutan sepihak tersebut tidak diterima oleh masyarakat Dago Elos yang telah mendiami tanah tersebut selama puluhan tahun tiga generasi, beberapa di antaranya memiliki sertifikat tanah resmi dari Badan Pertanahan Nasional Bandung dan juga memenuhi kewajiban sipil lainnya.

Warga mengambil tindakan hukum terhadap keluarga Mueller. Begitu pula dengan keluarga Mueller yang mengajukan gugatan untuk membuktikan keabsahan tanah tersebut sebagai hak waris.

Mereka telah melalui banyak prosedur yang berhasil, antara lain di Pengadilan Negeri Bandung, banding di Pengadilan Tinggi Bandung, Mahkamah Agung, dan peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung (PC).

Tak hanya melalui jalur hukum, warga juga melakukan mobilisasi melalui gerakan bersama dengan tagar #Dagomelawan, dimana mereka lebih banyak membagikan informasi serta foto dan video gerakan tersebut melalui berbagai postingan media sosial seperti Facebook, Instagram, dan Tiktok. memberikan empati dan informasi yang akurat.

Setelah melalui proses panjang dan melelahkan selama delapan tahun, warga Dago Elos mendapat kabar baik bahwa surat dan surat tanah di Deri Elos adalah palsu atas nama Heri Hermawan Müller dan Dodi Rustandi Müller. informasi palsu dalam pekerjaan nyata.

Kedua tersangka ditangkap pada 18 Juli 2024 oleh penyidik ​​Polda Jabar dan dijerat Pasal 263 KUHP jo Pasal 55 KUHP atau Pasal 266 KUHP. Pasal 55 KUHP.

Pasca penangkapan, warga mendesak polisi mempercepat proses hukum dan menangkap pihak lain yang terlibat seperti PT. Dago Inti Graha dan sindikat mafia tanah lainnya.

Perjuangan warga Dago Elos masih jauh dari selesai karena pengacara keluarga Mueller diduga menyiapkan skema tandingan dalam proses praperadilan.

Teori Manajemen Konflik dalam Mediasi Sengketa lahan yang berkepanjangan mau tidak mau akan berdampak pada psikologi warga yang terlibat sengketa. Kenyamanan dalam melakukan tugas sehari-hari terganggu oleh masalah yang tidak diketahui. Lamanya penyelesaian sengketa menunjukkan adanya kesenjangan atau hambatan terkait perbedaan kepentingan dan tujuan kedua belah pihak.

Berdasarkan teori manajemen konflik dalam mediasi yang dikembangkan oleh William Wilmot dan Joyce Hawker menunjukkan bagaimana mengelola konflik secara efektif dengan menggunakan strategi yang berbeda-beda.

Wilmot dan Hawker mengidentifikasi beberapa pendekatan terhadap manajemen konflik, termasuk:

1. Gaya kompetitif yang berfokus pada kemenangan satu pihak atas pihak lain.

2. Mencari solusi yang saling menguntungkan.

3. Menghindari gaya, menghindari konflik, atau menunda penyelesaian suatu masalah.

4. Gaya nyaman adalah mengalah pada keinginan pihak lain demi menyelamatkan hubungan.

5. Gaya kompromi mencari jalan tengah antara dua keinginan dengan mengorbankan sebagian keinginannya.

Jika disimak penjelasannya, jika terjadi konflik antara masyarakat Dago Elos dengan keluarga Muller, maka pendekatan pertama merupakan langkah yang tepat untuk dilakukan masyarakat Dago Elos. Sebab, sengketa pertanahan memerlukan bukti kepemilikan tanah yang sah dan diakui negara.

Pendekatan yang dilakukan pada gaya kompetitif ini terfokus pada kemenangan salah satu pihak tanpa mempertimbangkan kepentingan pihak lain. Dalam hal ini, gaya kompetitif cenderung menciptakan dinamika yang lebih agresif dimana keluarga Muller ingin menguasai tanah yang ditempati masyarakat Dago Elos.

Kemudian negara mengakui permasalahan sengketa tanah tersebut karena menuntut adanya bukti kepemilikan atas tanah tersebut, yang coba dibantah oleh warga Dago Elos dengan bukti sah atas tanah tersebut.

Melakukan berbagai prosedur hukum diperlukan untuk menentukan siapa pemilik yang sah, meskipun hal ini membosankan dan memakan waktu.

Diketahui bahwa tanah atau hak milik atas tanah mempunyai arti yang sangat penting bagi setiap orang dalam suatu masyarakat dimana tanah merupakan lingkungan tempat tinggal setiap orang.

Proses pengiriman dan penerimaan pesan melalui media peradilan hendaknya dilakukan sebagai wadah untuk memperoleh hak-hak para pihak dalam proses hukum sesuai dengan ketentuan hukum terkait.

Sebagai lembaga formal yang mencakup sistem peradilan, tentu saja pengadilan mempunyai tahapan dan tingkatan tersendiri dalam melakukan penyidikan, peninjauan kembali, dan memutus perkara bagi para pesertanya.

Gerakan perlawanan masyarakat Dago Elos sungguh tak kenal lelah dalam memperjuangkan hak atas tanah. Namun mereka selalu percaya bahwa usaha yang terus-menerus dalam menghadapi berbagai masalah, gangguan dan kejadian lainnya pada akhirnya akan membuahkan hasil yang membahagiakan.

Tentu saja para pejuang #DagoMelawan selalu percaya bahwa kebaikan itu baik dan kejahatan pasti menang. Mereka akan melanjutkan keyakinan mereka dengan pupuk dan air, dengan langkah-langkah perlawanan demi keadilan dan keamanan hak. Sebagai pesan persatuan bagi masyarakat Dago Elos, topik hashtag tidak selalu kalah dengan #Dago.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *