JATIM – Airlangga raja sekaligus pendiri kerajaan Kahuripan merupakan keturunan Mpu Sindok. Di bawah pemerintahan Airlangga, Kahuripan diangkat menjadi kerajaan yang sangat dihormati dan meneruskan garis keturunan raja-raja besar Jawa dari putranya.
Seperti raja pada umumnya, Airlangga sangat dihormati rakyatnya. Raja juga memiliki orang khusus untuk mengatur pemerintahannya sehari-hari, begitu pula Raja Airlangga.
Pada masa Airlangga, ia mempunyai wewenang atau kekuasaan khusus terhadap seseorang atau sekelompok orang. Tujuannya adalah untuk menyewa jasa seseorang atau sekelompok orang. Keadaan masyarakat pada masa Airlangga sangat memprihatinkan.
Konon Airlangga juga merupakan adat bagi para budak. Dikutip dari buku “Airlangga: Biografi Raja Pembaru Jawa Abad XI” karya Ninie Susanti, Prasasti Baru tahun 952 Saka menyebutkan bahwa Raja Airlangga mempunyai hak atas jenis budak tertentu yang hanya dimiliki oleh raja.
Selain itu, dalam prasasti Baru disebutkan bahwa selain masyarakat Desa Baru menikmati kesaktian sima, mereka juga mempunyai kesaktian sebagai dayang, hunjeman, nambi dan pujut, keadilan bagi raja dan keluarganya. Dayang adalah ratu atau putri raja, dan pujut adalah budak suku Negrito. Seseorang dengan kondisi fisik yang buruk disebut kasekten atau kesaktian.
Dalam perkembangan selanjutnya, manfaat dapat berupa gelar kehormatan, pemberian yang berhubungan dengan gaya hidup, seperti pemakaian ciri-ciri tertentu, hak untuk memakan makanan tertentu, hak untuk menyimpan barang tertentu, dan hak untuk memiliki model rumah tertentu.
Misalnya Rakai Pangkaja Dyah Tumambong yang diberi gelar Halu, artinya ia diibaratkan saudara raja karena usahanya mendoakan dan menyelamatkan raja dalam peperangan. Kemudian keluarga Dyah Kakingadulengen (Dyah Kakinadulenen) juga mendapat hak khusus atas kiprahnya melindungi raja.
Selain itu, suku Karaman di Baru diberi hak eksklusif untuk memelihara berbagai macam budak, dan Narottama, sahabat raja, diberi gelar Rakai Kanuruhan atas jasanya.
Konon cara pemberian hak khusus ini juga dianut dan menjadi cara yang dilakukan oleh raja-raja kerajaan Jenggala, Kediri hingga masa Majapahit.