JAKARTA – Pengamat hukum dan politik Peter C. Zukifli menilai perubahan definisi pengambilalihan menjadi restitusi dapat mereduksi kuatnya semangat yang ingin disampaikan dalam UU Pengambilalihan. Dalam analisisnya, Peter mengingatkan, jika DPR hanya fokus pada kondisi, maka RUU tersebut akan kehilangan substansi sebenarnya.
“Tentu saja perubahan ini menimbulkan pertanyaan mendasar: Apakah perubahan susunan kata ini hanya soal bahasa atau mempengaruhi substansi RUU?” Berikut disampaikan Peter Zulkifli kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (9/11/2024).
Peter menyinggung ketidakkonsistenan DPR dengan Pemerintah dalam mengubah susunan kata dalam UU tersebut. Diantaranya, Menteri Hukum Suprathman Andi Agtash mengatakan belum ada penelitian yang dilakukan mengenai alasan perubahan gaya tersebut.
Suprathman menegaskan, usulan perubahan istilah kepunahan menjadi pemulihan masih menunggu perhatian lebih lanjut. Menurutnya, penting untuk menggunakan terminologi yang tepat karena mempengaruhi pemahaman dan implementasi undang-undang yang bertujuan untuk memberantas korupsi di Indonesia.
Supratman menggarisbawahi perlunya perundingan mendalam untuk memasukkan undang-undang pengambilalihan ke dalam Program Legislatif Nasional (Prolegnas) 2025. Di sisi lain, Parlemen telah berulang kali menjelaskan mengapa mereka ingin mengubah kata-kata dalam rancangan tersebut.
Wakil Ketua Badan Legislatif DPR Ahmad Doli Kurnia prihatin dengan istilah penyitaan yang mempunyai konotasi negatif dalam konteks hukum Indonesia. Dolly menjelaskan, istilah yang digunakan dalam Konvensi PBB tentang Korupsi (UNCAC) adalah ‘recovery of curian aset’, yaitu seperti pemulihan aset.
Baginya, konsep pemulihan bukan mencerminkan kekurangan yang menjijikkan, melainkan niat baik. Namun perubahan tersebut menuai kritik keras dari beberapa kalangan, seperti mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan. Ia menilai perubahan kata-kata tersebut bisa menyurutkan semangat pemberantasan korupsi dalam RUU tersebut.
Menurut Roman, polemik ini menghindari aspek penting dari tujuan undang-undang perampasan aset, yaitu memberantas korupsi melalui pengambilalihan ilegal. Perlu ditegaskan bahwa undang-undang ini tidak boleh hanya berdasarkan syarat-syarat saja, melainkan harus mencakup konsep pengayaan ilegal, yang berarti bahwa peningkatan aset yang tidak diketahui asal usulnya harus disita untuk kepentingan pemerintah.
Menanggapi konflik pendapat tersebut, Peter Zulkifli menjelaskan bahwa illegal richer atau penambahan kekayaan ilegal merupakan bagian penting dalam pemberantasan korupsi. Menurutnya, UNCAC sendiri mengamanatkan Peraturan Pengayaan Ilegal yang memperbolehkan penyitaan aset yang diperoleh secara ilegal.
“Tanpa badan ini, RUU perampasan aset akan fokus pada pemulihan aset tanpa memperhatikan sumber aset tersebut,” kata Peter Zulkifli.
III DPR. Mantan Ketua Komisi ini mengatakan RUU Perampasan Kekayaan bukan hanya sekedar rumusan kata, tapi mencerminkan strategi pemberantasan korupsi yang tepat. Ia menegaskan, urgensi perampasan aset tersebut bukan hanya kepentingan aparat penegak hukum seperti penyitaan saja, namun UNCAC juga merupakan strategi yang paling tepat untuk memberantas korupsi.
“Perubahan kata penyitaan menjadi pelepasan dapat mengurangi semangat tegas yang ingin disampaikan dalam RUU tersebut. Kepemilikan aset ilegal tidak hanya sekedar pengembalian atau pengembalian aset, tetapi juga bagian utama dari upaya menghilangkan akar permasalahan. aset. Korupsi di Indonesia,” ujarnya.
Dia mengatakan, klausul yang mengatur pembatasan penggunaan uang dan klausul yang mengatur penyitaan aset yang tidak layak merupakan langkah nyata yang patut diutamakan. Jadi kalau hanya fokus pada kondisi saja, matematika ini bisa kehilangan esensinya.
Peter Zulkiflim mengatakan, undang-undang perampasan aset bukanlah hal baru yang menjadi perdebatan dalam hukum Indonesia. Pada tahun tersebut Undang-undang yang digagas Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada tahun 2008 pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini telah dirancang beberapa kali.
Pada tahun tersebut Sejak rancangan pertama pada tahun 2012, melalui revisi pada tahun 2019, hingga rancangan akhir pada tahun 2023, perubahan terus dilakukan, namun ratifikasi belum juga dilakukan. Permasalahan seperti penyitaan harta benda tanpa tuntutan pidana dan pencabutan hak menuntut menjadi perdebatan yang belum terselesaikan.
Ia juga mengingatkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkali-kali mendorong DPR untuk mempercepat pengesahan RUU ini. Dalam beberapa kesempatan, Jokowi menekankan pentingnya undang-undang perampasan aset untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Sayangnya, meski prioritasnya tinggi, pembahasan RUU ini baru akan terlaksana pada Sidang Umum DPR terakhir pada Februari 2024, kata Peter Zulkifli.
Peter Zulkifli mengatakan undang-undang perampasan aset merupakan contoh rumitnya penegakan hukum di Indonesia. Kendala regulasi, retorika, dan isu kritis terkait pemberantasan korupsi menjadi pertanyaan besar masyarakat.
“Apakah ada kemauan politik yang cukup kuat untuk mengesahkan RUU ini? Atau bisakah persaingan kepentingan mengurangi urgensi kebijakan yang seharusnya mengurangi korupsi?” katanya.
Ia mengaku yakin RUU ini akan menjadi alat yang efektif bagi masyarakat untuk menuntut transparansi dan akuntabilitas para pemimpin daerah. Tanpa terpaku pada jargon belaka, masyarakat berharap UU Kehilangan Kekayaan segera disahkan.
Karena apapun kata-katanya, yang terpenting adalah keberanian dan tekad yang sejati untuk mencari sumber korupsi, Indonesia yang bebas korupsi.