Jakarta – Romli Atmasasmita Pakar hukum mengkritik cara penghitungan kerugian negara yang digunakan dalam kasus PT Timah Tbk. Menurut dia, sesuai pedoman UUD 1945, penghitungan kerugian negara hanya akan dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Badan Kewenangan (BPK).
“Ada perbedaan antara APBN dan APBN. Kerugian keuangan negara berhubungan langsung dengan APBN atau APBD sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan (UU). Kerusakan lingkungan hidup tidak diukur oleh perusahaan “BPK atau BPKP, tapi oleh ahli lingkungan hidup,” kata Romli Atmasasmita selaku saksi ahli yang dihadirkan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena korupsi. Senin (25/11/2024), Romli Atmasasmita hadir sebagai saksi ahli dalam sidang akhir PT Timah, bersama terdakwa Tamron, Hasan Tjhi, Ahmad Albani, Buyung (kwan yung) selaku perusahaan swasta.
Romli pun mencontohkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, di mana kata ‘boleh’ dihilangkan dari kata membubarkan negara. Mahkamah Konstitusi menghapuskan kata ‘pendapatan’ dalam perkara korupsi karena melanggar UUD 1945 yang menyatakan bahwa kerugian negara adalah nyata (real loss) dan dapat dihitung dengan: Power right atau akuntan publik.
“Kalau kerugiannya hanya dugaan saja. Hakim tidak bisa menjadikannya sebagai dasar penyelesaian perkara korupsi. Hakim bebas mempertimbangkan. Tapi Mahkamah Konstitusi menegaskan kerugian harus diketahui, “kata salah satu korban. Pembuat undang-undang yang korup
Dalam kasus Scripps, penggunaan hasil statistik Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) bermasalah karena Romli mengatakan, menurut undang-undang perekonomian negara, BPK adalah satu-satunya landasan hukum dalam menghitung kekayaan negaranya.
“BPKP tidak memiliki dasar hukum untuk menghitung kerugian negara. Bekerja sebagai pengawas dan auditor internal untuk instansi pemerintah. Satu-satunya alasan adalah reformasi presidensial. Dalam statistik nasional kerugian ini merupakan pekerjaan BPK,” Guru Besar Hukum Pidana Universitas Paccharan (Anpad) ini
Alat bukti yang digunakan dalam kasus PT Timah terkesan dipaksakan. Apalagi jika kasusnya menyangkut pihak swasta yang merupakan mitra perusahaan BUMN.
“Menurut saya, ini merupakan implementasi UU PMH yang belum jelas tujuannya. Kalau di tingkat administrasi (P.T. Timah) ada penyalahgunaan kekuasaan, itu wajar. Namun jika Anda pergi untuk urusan pribadi tidak perlu. Karena mereka dilindungi kontrak,” ujarnya.
Faktor penting lainnya adalah adanya tekanan masyarakat terhadap keadilan hakim dalam menangani perkaranya. Hal ini terutama berlaku bagi hakim yang menangani kasus korupsi. “Hakim seringkali dihadapkan pada masalah keamanan dari dosa. Bukankah terbebas dari dosa-dosa di atas baru kita tahu apakah dia masuk surga atau neraka,” ujarnya.