MUBA – Kontroversi batas wilayah masih menjadi isu di sejumlah daerah. Contohnya terjadi di Dusun 003 Desa Sako Suban. Daerah ini diperebutkan oleh Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) dan Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara), di Sumatera Selatan.
Pada Pilkada Serentak 2024, Desa Sako Suban, SD Negeri Sako Suban akan dijadikan lokasi Tempat Pemungutan Suara (TPS) Pilkada Kabupaten Muba. Namun berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 76 Tahun 2014, kawasan ini akan menjadi bagian dari Kabupaten Muratara. Kondisi ini menimbulkan tumpang tindih administrasi yang berdampak pada aspek hukum, sosial, dan politik.
Kepala Bagian Tata Kelola Sekretariat Daerah Muba, Suganda menjelaskan, secara administratif SD Sako Suban terdaftar sebagai milik wilayah Muba. “Kalau urusan pemerintahan daerah terserah Muba. Tapi kalau soal penetapan TPS itu kewenangan KPU,” jelas Suganda, Kamis (28/11/2024).
Sementara itu, guru SD di Desa Sako Suban, Yeni Lastari, menunjukkan surat undangan untuk memilih Kabupaten Muba, padahal berdasarkan Permendagri Nomor 76 Tahun 2014, wilayah tersebut termasuk Kabupaten Muratara. Pengalaman serupa juga dialami Jon Kenedi, Kepala Desa Dusun 003 Sako Suban yang mengaku memiliki identitas sebagai warga Kabupaten Muba. Tumpang tindih administratif ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat dan aktivis.
Aktivis HAM sekaligus pendiri LSM Lokataru Haris Azhar mengatakan permasalahan ini menunjukkan penataan administrasi di tingkat daerah masih belum maksimal.
“Kondisi ini menunjukkan perlunya sinkronisasi antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah. Perbedaan ini berpotensi menimbulkan kebingungan masyarakat dalam urusan administrasi, seperti KTP dan dokumen penting lainnya,” kata Haris, Kamis (8/7). 28/11/2024).
Haris juga mengingatkan, konflik agraria di wilayah Sumatera, termasuk Sumsel, masih sering menjadi permasalahan. Ia mengatakan konflik perbatasan dapat menimbulkan konsekuensi yang luas, mulai dari hak atas tanah hingga lingkungan hidup.
“Penyelesaian sengketa pertanahan yang tidak seimbang dapat berdampak pada akses masyarakat terhadap pekerjaan dan hak-hak sipil lainnya. “Jika hal ini tidak segera diatasi, dampaknya akan sangat merugikan warga,” imbuhnya.
Melihat permasalahan ini, pemerintah daerah, pusat, serta KPU diimbau lebih proaktif menyelesaikan kontroversi perbatasan ini. Penegasan kembali wilayah administratif diharapkan dapat menghindari risiko konflik jangka panjang dan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat.
Kontroversi yang terjadi di Dusun 003 Desa Sako Suban merupakan contoh nyata bahwa permasalahan tata batas memerlukan perhatian khusus guna menjaga stabilitas sosial dan menjamin perlindungan hak-hak warga.