KUPANG – Kemiskinan di Indonesia masih menjadi permasalahan besar yang belum terselesaikan meski berbagai kebijakan telah dilakukan untuk mengatasinya. Beberapa pihak bahkan melihat kemiskinan sebagai proyek terstruktur yang dikelola sistem demi kepentingannya sendiri.
Hal itu terungkap dalam diskusi bertajuk “Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara: Kedaulatan Ekonomi” yang diselenggarakan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Universitas Muhammadiyah Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Kamis, 17 Oktober 2024.
Ahli patologi sosial Ester Jusuf dari Universitas Indonesia (UI) mengatakan kemiskinan tampaknya sengaja dipertahankan di beberapa daerah.
“Daerah miskin bisa saja dibiarkan tetap miskin. Kita berbicara tentang pendapatan, garis kemiskinan, sesuatu yang sangat politis. “Banyak contoh masyarakat yang sengaja merencanakan kemiskinan untuk kepentingan pribadi,” kata Ester, Jumat (18/10/2024).
Menurut Ester, kemiskinan tidak bisa dilihat hanya dari angka atau statistik yang menunjukkan penurunan jumlah penduduk miskin. Ester menekankan, penting untuk melihat kenyataan yang dihadapi masyarakat, termasuk ketersediaan kebutuhan pokok.
“Kita harus membenamkan diri dalam fakta, dalam situasi nyata. “Tidak jika kita asumsikan kita berhasil membuat 75% rakyat Indonesia menjadi miskin, tapi lihatlah apakah bangsa kita tidak lagi mengalami kelaparan, jika tubuhnya tidak menderita berbagai penyakit,” imbuhnya.
Sosiolog pembangunan pedesaan Charles Beraf mengatakan pemberdayaan masyarakat penting untuk memerangi pemiskinan sistemik.
Charles berbagi pengalamannya di Keo Tengah, Flores, dimana petani kakao yang sebelumnya bergantung pada tengkulak kini mulai memproduksi coklat batangan sendiri dengan memberdayakan masyarakat setempat.
“Sejak tahun 2019, mereka mempunyai inisiatif untuk program Village Watch. “Anak-anak muda sedang belajar mengolah biji kakao menjadi coklat batangan dan produknya sudah masuk pasar,” kata Charles yang juga dosen di Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero.
Charles menekankan pentingnya pemberdayaan tersebut untuk memerangi bentuk-bentuk pemiskinan yang ada di seluruh dunia. Kunci untuk mengatasi kemiskinan adalah pemberdayaan yang berbasis pada konteks lokal.
Pentingnya pemberdayaan juga ditekankan dalam konteks kebijakan pemerintah pusat dan daerah. Charles mencontohkan, kebijakan pembiayaan desa memang ditujukan untuk pemberdayaan, namun implementasinya seringkali tidak diatur.
“Tahun 2011, Presiden SBY mengingatkan kepala desa bahwa 70% dana desa untuk pemberdayaan, 30% untuk infrastruktur. Tapi kepala desa tidak mau karena kalau diberdayakan, mereka tidak mendapat iuran.” kata Charles.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Widya Mandira Marianus Kleden menambahkan, pengelolaan usaha yang baik sangat diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ia mencontohkan besarnya potensi komoditas jagung di NTT.
“Tahun ini NTT memproduksi 650.000 ton jagung. “Dengan harga pasar internasional sekitar Rp4.655 per kilogram, NTT bisa mendapat Rp3 triliun,” ujarnya.
Marianus juga menyoroti permasalahan budaya politik yang menghambat pembangunan infrastruktur di daerah tertentu. “Ada budaya balas dendam, kalau tidak terpilih di pilkada, infrastruktur tidak dibangun,” ujarnya.
Di sisi lain, keterlibatan masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya juga harus menjadi perhatian. Hal ini ditegaskan oleh Koordinator Forum Masyarakat Adat Pesisir, Bona Beding, yang mengatakan bahwa masyarakat adat pesisir seringkali dianggap miskin.
Menurutnya, masyarakat adat pesisir memiliki cara hidup yang bergantung pada alam, seperti mengandalkan angin dibandingkan bahan bakar minyak (BBM). Namun bantuan bahan bakar yang diberikan pemerintah justru merugikan masyarakat pesisir.
“Kemiskinan sebenarnya muncul karena akar budaya tercabut. “Mereka memberikan bantuan berupa kayu bakar, bansos dan lain sebagainya, namun hal tersebut justru menjauhkan mereka dari cara hidup yang bertahan selama berabad-abad,” jelas Bona.
Bona juga menegaskan, masyarakat adat tidak mendapat tempat yang layak dalam kebijakan pemerintah. RUU Masyarakat Adat yang diusulkan 14 tahun lalu masih belum jelas.
Bona menyarankan agar pemerintah lebih memperhatikan masyarakat adat sebagai bagian dari upaya memajukan nilai-nilai Pancasila yang telah lama mereka anut.