JAKARTA – Sidang kasus korupsi sistem tata niaga bahan timah Bank Belitung (Babel) mengungkap secara gamblang cara jaksa menghitung kerusakan lingkungan hidup. Penasihat hukum para terdakwa menekankan pentingnya melibatkan para ahli yang relevan, seperti ahli geologi, dan bukan ahli kehutanan, dalam menilai dampak tambang secara akurat.
“Penafsiran citra satelit pertambangan seharusnya dilakukan oleh ahli geologi, bukan ahli kehutanan,” kata Junaedi Saibih, kuasa hukum terdakwa sekaligus Direktur PT RBT Supata, saat sidang ganda terdakwa, Jumat (20/12). ).
Ia membenarkan keakuratan perhitungan Profesor Bambang Hero Saharjo, pakar fire justice Institut Penelitian Pertanian Bogor (IPB), yang menyebutkan total volume penambangan pada 2019-2020 mencapai 170.363 hektare dan kerusakan lingkungan mencapai Rp 171 triliun. .
Menurut Junaedi, data sebenarnya menunjukkan sebagian besar lubang terbuka akibat aktivitas penambangan PT Timah Tbk terjadi sebelum Januari 2015. Selama tahun 2015-2022, luas lahan terbuka hanya 5.658,30 hektar atau 10,86% dari total luas. “Hal ini membantah tuduhan jaksa bahwa aktivitas penambangan skala besar terjadi antara tahun 2015 dan 2022.”
Menurut Junardi, tidak peduli bagaimana kerugiannya dihitung. Pandangan inilah yang cenderung membingungkan ilmu pengetahuan, sehingga dapat menimbulkan keraguan terhadap objektivitas proses hukum.
“Penunjukan ahli kehutanan untuk menghitung kerugian pertambangan merupakan tindakan yang mengabaikan kaidah ilmiah,” kata Junaidi.
Dia mengatakan penghitungan kerugian lingkungan seharusnya menjadi kewenangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang tugas utamanya melakukan studi kelayakan pertambangan.
Pakar lainnya, Guru Besar Ekonomi Kehutanan dan Lingkungan IPB, Prof.
“Pemerintah telah memperhitungkan dampak lingkungan dan ekonomi dari pertambangan sebelum mengeluarkan izin operasi. Hal ini dilakukan melalui analisis biaya-manfaat untuk memastikan dampak positifnya lebih besar daripada dampak negatifnya.”
Junardi juga mempertanyakan apakah penanganan kasus dugaan korupsi di bidang tata niaga komoditas ini benar-benar untuk penegakan hukum atau karena motif tertentu. “Jika aspek keilmuan diabaikan, maka proses hukum bisa terkesan hanya mengejar tujuan tertentu dan meremehkan kaidah keilmuan yang telah diwariskan secara turun-temurun,” ujarnya.
Ia meminta dewan juri mengambil keputusan secara hati-hati dengan mempertimbangkan perbedaan pendapat antara ahli geologi dan ahli kehutanan. “Bukan hanya soal angka, tapi soal penilaian para ahli di bidangnya,” ujarnya.
Uji coba ini akan menjadi uji penting untuk memastikan penegakan hukum dilakukan sesuai kaidah ilmiah dan tidak menimbulkan kecurigaan masyarakat.