YOGYAKARTA – Perselisihan Pangeran Diponegoro dengan Kiai Mojo berujung kekalahan saat perang melawan Belanda. Kesombongan Kiai Mojo konon membuat Pangeran Diponegoro terharu.
Tak heran jika pergerakan pasukan Pangeran Diponegoro terhambat. Pangeran Diponegoro tidak bisa memenangkan Perang Jawa, karena perselisihannya dengan Kiai Mojo. Perang Jawa saat itu terjadi di markas pasukan kolonial di Gawok, sebelah barat Surakarta (Solo), pada tanggal 15 Oktober 1826.
Pada akhir bulan Agustus 1826, ketika sebagian daerah asalnya, Pajang, sudah berada di bawah kendali penguasa, Kiai Mojo mulai mendesak agar segera dilakukan penyerangan besar-besaran ke Surakarta. Kiai Mojo melihat semua itu karena pengaruh pribadinya.
Ia sesumbar bahwa penguasa Surakarta generasi sebelumnya pernah belajar pada ayahnya, Kiai Baderan, dan kini anak-anaknya menjadi muridnya.
Kiai Mojo juga meremehkan peran pangeran di Surakarta dengan mengatakan Keraton Sunan sudah tidak simpati lagi dengan Pangeran Diponegoro.
Hal ini menyebabkan sikap Pangeran Diponegoro semakin jengkel terhadap Kiai Mojo yang dianggapnya sombong, sebagaimana dijelaskan dalam buku “Sejarah Nasib Pangeran Diponegoro 1785 – 1855” karya Peter Carey.
Sontak pertikaian kedua pemimpin perang Jawa itu mempengaruhi pergerakan pasukan untuk maju. Bahkan beberapa minggu kemudian, ketika sang pangeran menyerang, ia berhasil dikalahkan di Gawok, sebelah barat daerah Surakarta.
Kekalahan pada Pertempuran Gawok menyebabkan kedua pemimpin perang Jawa tersebut saling menyalahkan. Pendukung Pangeran Diponegoro dari istana menuduh Kiai Mojo-lah yang harus disalahkan karena berhasil mengalahkan pasukan penjajah Belanda.
Kiai Mojo dan keluarganya dituduh mendorong penyerangan ke Surakarta, sebenarnya demi kepentingan masa depan mereka sendiri.
Bahkan pada bulan Agustus 1827, ketika perundingan perdamaian sedang berlangsung di Salatiga, perdebatan besar kembali muncul antara Pangeran Diponegoro dan Kiai Mojo, kepala penasihat agamanya, mengenai hakikat kekuasaan politik.
Menurut Diponegoro, ia menantang kedudukan penguasa sebagai Sultan Erucokro dengan memintanya membagi kekuasaan menjadi empat bagian, yaitu kekuasaan ratu (raja), wali (penyebaran agama), pandita (berpendidikan di bidangnya). hukum). ), dan mukmin (beriman), semuanya mengisyaratkan Pangeran Diponegoro hanya memilih satu dari empat peran di atas.
Kiai Mojo mengatakan, jika pangeran memilih menjadi ratu, ia sendiri yang mengatakan akan mengambil kekuasaan wali dan menjalankan kekuasaan agama secara mutlak.
Pangeran menolak dan menyatakan bahwa Kiai Mojo menginginkan kekuasaan lebih. Sang pangeran bahkan membandingkan antara kiai dengan tokoh agama Giri pada abad 16 dan 17 yang menurut Diponegoro dipimpin oleh Sultan Demak.
Perdebatan ini akan menambah durasi konflik berdasarkan rivalitas antar wilayah. Basis Pangeran Diponegoro adalah Mataram, sedangkan kesetiaan Kiai Mojo adalah Pajang, tepatnya Kabupaten Boyolali, wilayah Surakarta sekarang.
Setelah Kiai Mojo bergabung dengan kepala suku Selarong pada bulan Agustus 1825, banyak pengikut ulamanya yang bergabung dengan unit elit resimen pangeran.