JAKARTA – Kebijakan hukum pidana Indonesia (akan) mengalami perubahan mendasar meninggalkan kebijakan hukum pidana warisan pemerintah kolonial Belanda yang telah ada selama 78 tahun terakhir. Kebijakan hukum pidana warisan Belanda mengutamakan tujuan mencegah atau menghukum pelaku kejahatan. Hal ini terlihat pada bagian jenis pidananya (Pasal 10 KUHP): pidana mati, pidana penjara, kurungan, denda, dan kurungan. Selain keempat jenis tindak pidana yang merupakan tindak pidana pokok tersebut, terdapat pula tindak pidana tambahan yang diputus oleh hakim, yaitu: perampasan hak-hak tertentu dari terdakwa, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan hakim.
Ketujuh jenis tindak pidana dalam KUHP Tahun 1946 yang dilaksanakan di seluruh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 telah mengalami kadaluwarsa terkait dengan perkembangan dunia internasional, khususnya setelah adanya Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil, Hak Politik. , Hak Ekonomi dan Hak Hukum diadopsi dan dibuka untuk diratifikasi oleh anggota PBB pada tahun 1966. Indonesia meratifikasi pakta tersebut dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1955. Hukum pidana Indonesia di masa depan.
KUHP Tahun 1946 yang masih berlaku dan akan habis masa berlakunya pada tahun 2026, masih belum memberikan perlindungan hukum yang memadai, baik bagi tersangka/terdakwa dan terpidana, maupun bagi korban, dalam kehidupan bermasyarakat. Contoh konkrit dalam praktik peradilan pidana, khususnya terkait penetapan tersangka dalam KUHP dan KUHAP, tidak diatur secara khusus sanksi penundaan prosedur penyelesaian amdal dari penyidik. kepada jaksa. setelah diterima oleh penuntut umum dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari; dalam Pasal 138 KUHAP. Dalam kasus FB, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu menyelesaikan dalam waktu 8 (delapan) bulan atau 240 hari sejak diterimanya berkas hasil penyidikan dari kejaksaan.
Contoh kedua adalah tahap penyidikan yang menurut KUHAP menjelaskan bahwa tahap ini mengungkap ada/tidaknya suatu peristiwa pidana oleh penyidik; Jika ditemukan bukti permulaan yang cukup, penyidik akan melanjutkan ke tahap penyidikan untuk menentukan siapa yang akan ditetapkan sebagai tersangka. Batas waktu peralihan dari tahap penyidikan ke tahap penyidikan tidak ditentukan, sehingga saksi harus menunggu lama tanpa dapat yakin bahwa penyidikan akan masuk penyidikan; Dalam praktiknya, hal ini sangat bergantung pada diskresi penyidik dan penyidik, sehingga seringkali menimbulkan ketidakpastian mengenai perlindungan hukum terhadap saksi dan orang yang ditetapkan sebagai tersangka. Sudah menjadi kebiasaan di KPK bahwa peralihan status saksi menjadi tersangka dimulai pada akhir proses penyidikan dan bukan pada tahap akhir proses penyidikan.
Contoh lainnya, doktrin mens-rea dan actus reus dalam proses penyidikan jarang diperhitungkan, terutama dalam kasus tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama atau bersama-sama (deelneming), sehingga tidak ada kepastian hukum siapa pelaku sebenarnya. atau siapa yang memerintahkan dilakukannya atau siapa yang ikut serta dalam eksekusi atau memberi bantuan dalam melakukan kejahatan.
Praktek hukum menimbulkan kerugian hukum bagi orang-orang yang tidak pernah mengetahui awal mula rencana pidana, tetapi baru ikut serta secara aktif dalam pelaksanaan tindak pidana tersebut; Namun telah ditetapkan bahwa mereka adalah tersangka pelaku dan tidak ikut serta dalam kejahatan, ancaman hukuman bagi mereka yang membantu melakukan kejahatan dikurangi 1/3, dan harta benda mereka dalam kasus korupsi disita dan kedudukan hukumnya disamakan dengan yang lain. yang utama. Dalam KUHP 2023 terdapat pedoman pemidanaan yang menentukan tujuan pemidanaan: a. pencegahan tindak pidana melalui penerapan norma hukum untuk perlindungan dan perlindungan masyarakat; B. mewajibkan warga binaan memberikan pelatihan dan bimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna; C. menyelesaikan konflik yang timbul akibat tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mewujudkan rasa ketertiban dan kedamaian dalam masyarakat; dan menanamkan penyesalan dan pengampunan pada terpidana.
Merujuk pada tujuan pemidanaan berdasarkan UU KUHP 2023, jelas bahwa arah politik hukum pidana nasional ke depan bukan lagi pada pemidanaan atau keadilan retributif, namun berubah menjadi tujuan pencegahan dan tindakan yang mempertimbangkan. keseimbangan. antara kepastian hukum dan perlindungan hak asasi manusia disertai dengan harapan adanya penyesalan bagi pelakunya. Ketentuan UU KUHP 2023 juga menegaskan bahwa pemidanaan tidak bertujuan untuk merendahkan harkat dan martabat manusia, dan hakim telah ditugaskan ketika mengadili tindak pidana, hakim harus menjunjung tinggi hukum dan keadilan; Apabila dalam penegakan hukum dan keadilan terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, maka hakim harus mengutamakan keadilan.
Implikasi hukum dan sosial dari pemberlakuan KUHAP Tahun 2023 adalah adanya perubahan total terhadap norma hukum acara pidana yaitu KUHAP Tahun 1981 yang harus disesuaikan dengan falsafah, visi, misi dan tujuan hukum pidana dalam Indonesia setelah diterapkan pada tahun 2026. Selain perubahan norma acara dalam perkara pidana, diperlukan juga perubahan sikap dan perilaku aparat penegak hukum termasuk penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam menyelesaikan perkara pidana, termasuk perkara pidana khusus lainnya. . korupsi, terorisme, pelanggaran hak asasi manusia dan pencucian uang.