JAKARTA – Indonesia mulai melakukan transisi dari kendaraan bermotor ke kendaraan listrik (EV) sejak tahun 2017. Langkah ini diambil untuk mengatasi perubahan iklim dan polusi udara di kota-kota besar
Untuk mempercepat adopsi kendaraan listrik, pemerintah telah merumuskan Strategi Kendaraan Listrik (KBLBB) yang mencakup berbagai insentif seperti pengurangan pajak dan subsidi pembangunan. Tujuannya jelas: mengurangi ketergantungan pada energi terbarukan dan mencapai nol emisi (NZE) pada tahun 2060.
Namun apakah langkah tersebut efektif dalam mencapai NZE, dan apa dampaknya terhadap perekonomian Indonesia?
Sebagai negara yang kaya akan sumber daya mineral khususnya nikel, Indonesia mempunyai peluang besar untuk mendukung pengembangan industri EV. Cadangan nikel diperkirakan melebihi 21 juta ton, menjadikan Indonesia salah satu produsen nikel terkemuka di dunia.
Selain nikel, Indonesia juga memiliki mineral berharga seperti kobalt dan tembaga, dua mineral lain yang juga dibutuhkan dalam produksi baterai. Dengan sumber daya tersebut, pemerintah berupaya mengembangkan baterai dan kendaraan listrik yang diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan pendapatan daerah.
Ketersediaan mineral berharga di Indonesia memberikan kondisi yang baik bagi perkembangan e-business lokal, kata Ketua Dewan Pembina Organisasi Diaspora Pemuda Amankan Nusantara (AMAN) Ferrell Rizki Butubara.
Namun, ada masalah di balik perubahan ini Meski mobil listrik dinilai sebagai solusi ramah lingkungan, namun sumber energi penggunaan baterai di Indonesia sebagian besar berasal dari batu bara. Indonesia, salah satu produsen batu bara terbesar di dunia, masih mengandalkan batu bara untuk menunjang kebutuhan energi dalam negeri.
“Pengembangan kendaraan listrik di Indonesia bergantung pada batu bara, namun kita harus melihatnya sebagai jembatan menuju kemandirian energi ketika energi terbarukan tidak dapat memainkan peran yang lebih besar dalam bauran energi Indonesia,” kata Ferrell.
Pemerintah juga gagal menyadari potensi energi terbarukan yang melimpah di Indonesia, seperti tenaga surya, angin, dan biomassa. Mengembangkan infrastruktur yang menggunakan baterai yang dapat diisi ulang merupakan salah satu prioritas dalam mendorong ekosistem kendaraan listrik yang berkelanjutan.
“Ada kemungkinan untuk menggunakan energi terbarukan, yang akan menjadi pendorong utama dalam menciptakan siklus bersih,” jelas Ferrell.
Dengan sumber daya mineral yang melimpah, Indonesia bisa menjadi hub produksi baterai kendaraan listrik Misalnya, Hyundai dan LG Chem berencana berinvestasi sekitar $1,1 miliar untuk membangun pabrik baterai di Indonesia, yang diperkirakan akan menciptakan lebih dari 20.000 lapangan kerja.
Investasi besar ini menunjukkan bahwa Indonesia mempunyai potensi dan siap menjadi pemain utama dalam industri EV global.
Industri kendaraan listrik juga diperkirakan akan memberikan efek domino pada sektor lain seperti energi terbarukan, pembangunan, dan jasa teknis. Pasar mobil listrik Indonesia diperkirakan akan mencapai $9,5 miliar pada tahun 2030, didorong oleh upaya pemerintah untuk mendukung transisi energi.
Pengembangan EVL tidak hanya akan merangsang pertumbuhan ekonomi, tetapi juga membantu menstabilkan energi dan mengurangi ketergantungan terhadap impor, kata Ferrell.
Meskipun terdapat banyak tantangan pembangunan, seperti ketergantungan pada batu bara untuk pembangkit listrik, potensi EVM untuk menjadi pilar perekonomian Indonesia tampak jelas. Perubahan ini tidak hanya membantu mengurangi emisi gas rumah kaca, namun juga memperkuat daya saing Indonesia di pasar global.
“Pengembangan EVL merupakan langkah positif yang tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8%,” kata Ferrell.
Industri kendaraan listrik dapat menjadi faktor penting dalam visi Presiden Pravo Subianto untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8%. Dengan memanfaatkan mineral yang berlimpah dan meningkatkan investasi di sektor ini, Indonesia tidak hanya berpotensi menciptakan jutaan lapangan kerja baru, namun juga memposisikan diri sebagai pemain dalam transisi energi global seiring dengan persiapan negara untuk mencapai kemandirian energi.