JAKARTA – Anggota DPR RI Rachmat Gobel mengusulkan tiga solusi untuk mengatasi deflasi yang melanda Indonesia. Banyak solusi yang bisa dilakukan termasuk meningkatkan pertanian, mendorong ekonomi sirkular, dan mengendalikan impor.
“Meski terjadi deflasi, masyarakat tidak membeli karena tidak mempunyai cukup uang. Keadaan ini lebih parah dalam sepuluh tahun terakhir,” ujarnya dalam laporannya, Rabu (9/10/2024).
Pengumuman itu disampaikan Gobel menanggapi data BPS yang menunjukkan Indonesia dilanda deflasi selama lima bulan berturut-turut. Deflasi adalah penurunan harga barang akibat menurunnya daya beli masyarakat. Deflasi pertama kali terjadi pada bulan Mei sebesar 0,03 persen, kemudian pada bulan Juni sebesar 0,08 persen, pada bulan Juli sebesar 0,18 persen, pada bulan Agustus sebesar 0,03 persen, dan pada bulan September sebesar 0,12 persen.
“Indonesia terus terkena dampak kondisi perekonomian yang mengkhawatirkan seperti PHK, penutupan banyak pabrik, dan membanjirnya ekspor,” ujarnya.
Selain itu, jumlah masyarakat kelas menengah Indonesia yang terus berkurang dan muncul fenomena “menabung”, yaitu masyarakat mulai menggunakan tabungannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari akibat turunnya pendapatan. “Semua ini terjadi karena kesalahan manajemen ekonomi dan kebijakan ekonomi yang melibatkan penipuan dan moral hazard,” kata Gobel.
Menurut dia, situasi ini tidak hanya berdampak pada struktur, tetapi juga harga, sehingga kerugiannya sistematis dan luas. Itu sebabnya kita memerlukan solusi mendasar, namun juga solusi kreatif yang terukur untuk masa depan.
Lebih lanjut, situasi yang dihadapi Indonesia saat ini tidak hanya mengancam tujuan pertumbuhan ekonomi Indonesia, namun dapat menjadikan Indonesia menjadi negara berpendapatan menengah.
“Indonesia sudah lama menjadi negara berpendapatan menengah, sudah lebih dari 20 tahun berlalu, dan masih jauh dari lebih dari 10 ribu USD untuk keluar dari negara berpendapatan menengah. Indonesia tidak banyak ditemukan di Asia Tenggara, kita beruntung negara-negara seperti Laos, Myanmar dan Kamboja masih ada, jadi kita bisa bahagia. Tapi kalau kita lihat Vietnam, kita bisa bernafas,” ujarnya.
Gobel mengaku sengaja melewati ujian ini dengan fakta dan nama apa adanya, agar masyarakat tidak terus terbuai. “Sekali lagi saya tidak ingin membangun pesimisme, namun kali ini saya ingin membangkitkan semangat dan harapan dengan terus mencari solusi terbaik. Ini hanya soal pilihan dan kemauan. Pilihannya, cinta itu pasti ada, dan itu pasti akan menjadi cinta. Jadi berani atau tidak berani mengambil langkah selanjutnya, karena tentu ada konsumen yang akan menikmati situasi buruk ini, katanya.
Terkait ketiga solusi tersebut, Gobel menjelaskan kekuatan solusi pertama, yakni memperbaiki sektor pertanian. Ada tiga fakta tentang bagian ini. Pertama, data BPS tahun 2022 mencatat terdapat 40,64 juta petani di Indonesia atau 29,96 persen penduduk bekerja. Sektor pertanian merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja terbanyak. Kedua, separuh penduduk miskin Indonesia bekerja di sektor pertanian. Artinya sebagian besar masyarakat miskin di Indonesia adalah petani. Ketiga, pertanian menyangkut ketahanan nasional karena berdampak pada perut manusia. Tidak ada negara besar, kuat dan maju yang bergantung pada negara lain dalam hal pangan. Keempat, perbaikan sektor pertanian akan meningkatkan perekonomian nasional.
“Sektor pertanian butuh solusi yang komprehensif, bukan solusi. Kalau sektor pertanian bisa ditingkatkan, separuh permasalahan bisa terselesaikan dan basis ekonomi bisa diperkuat. Korea, China, dan Jepang terlebih dahulu memperbaiki sektor pertaniannya sebelum beralih ke sektor pertanian. sektor industri,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan, persoalan pertanian bukan persoalan tersedia atau tidaknya lahan untuk pertanian, melainkan persoalan produksi hasil pertanian. “Lahan kita masih cukup, tinggal menggandakan produksi. Makanya kita perlu lebih fokus dan meningkatkan pertanian, ujarnya.
Memperluas lahan pertanian mungkin meningkatkan hasil panen, namun tidak akan mengurangi kemiskinan. Oleh karena itu, tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhan pangan nasional saja, namun yang terpenting adalah mengentaskan kemiskinan dan menjamin kesejahteraan petani serta menumbuhkan perekonomian negara, ujarnya.
Solusi lainnya, kata Gobel, adalah pengendalian impor. Saat ini, kata dia, Indonesia penuh dengan ekspor. Dalam teori ekonomi, kata dia, membeli barang berarti membeli waktu, membeli upah pekerja, dan membeli material baru dan material baru untuk membuat suatu barang. Jadi jika Anda membeli barang dari negara lain yang bisa diproduksi di dalam negeri, maka justru Anda akan mengalami kerugian yang besar bagi bangsa dan negara.
“Bukan hanya hilangnya perdagangan luar negeri dan menimbulkan pengangguran, tapi mematikan kreatifitas, kreatifitas manusia, dan harkat dan martabat manusia anak bangsa,” jelasnya.
Puncak kisruh aturan impor adalah terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan No. 8 Tahun 2024 yang menghapuskan perlunya kendala teknis dalam impor barang dan membebaskan sekitar 28 ribu kontainer yang diduga masuk tanpa izin impor. Dari administrasi Kementerian Perdagangan no. 8 Tahun 2024, Gobel menyetujui pembicaraan pengendalian impor dengan menghapus pintu masuk barang impor.
“Pindahkan ke pelabuhan-pelabuhan di Indonesia bagian timur. Ini juga menciptakan keseimbangan perekonomian dan menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat di wilayah timur Indonesia,” ujarnya.
Apalagi menurut data yang ada, kontribusi wilayah Indonesia bagian timur terhadap PDB Indonesia sangat rendah. Kontribusi Indonesia bagian barat yaitu Sumatera dan Jawa terhadap PDB sebesar 79,70 persen. Lainnya yang jumlahnya sangat kecil saat ini mewakili kontribusi Indonesia bagian timur, yakni kontribusi PDB Kalimantan hanya 8,21 persen, Sulawesi 6,73 persen, Bali dan Nusa Tenggara 2,75 persen, serta Maluku dan Papua 2,61 persen. Oleh karena itu, perubahan pintu gerbang negara ini akan sangat berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dan pemerataan, ujarnya.
Namun, Gobel memperingatkan kerusakan yang akan ditimbulkan oleh banjir dari luar negeri. Salah satu penyebab utama rusaknya perekonomian bangsa adalah kendali para pedagang dan penambang yang mengendalikan kebijakan perekonomian.
“Mereka ibarat manusia yang mengangkut barang dan menggali. Tidak ada daya kreatif sama sekali. Padahal, negara-negara besar dan peradaban besar lahir dari hal-hal kreatif kecil yang membangun hal-hal baru dan menciptakan sesuatu. Menciptakan kekuatan untuk memajukan peradaban,” ujarnya . katanya. katanya.
Menurutnya, peradaban modern lahir karena adanya pemikiran baru yang membangun mesin uap. Dengan demikian terjadilah revolusi dalam bisnis. “Peradaban modern tidak lahir dari ditemukannya tambang emas, minyak bumi, batu bara atau nikel, melainkan dari ditemukannya mesin uap. “Itu hanya lahir dari proses kreatif,” katanya. Pengendalian impor, kata dia, menciptakan lapangan kerja, mengembangkan usaha, meningkatkan investasi, mengendalikan pertumbuhan ekonomi, dan membangun kesejahteraan masyarakat.
Gobel juga mengingatkan pentingnya peningkatan ekspor melalui kerja sama semua pihak yaitu swasta, BUMN, Kementerian Perdagangan dan Perindustrian, dengan menggunakan ITPC (Indonesian Trade Promotion Center). Hal ini akan meningkatkan penjualan produk Indonesia, terutama meningkatkan kontribusi UMKM. Oleh karena itu, selain mengendalikan ekspor, kita juga memperkuat ekspor.
Menurut Gobel, solusi ketiga adalah kebangkitan ekonomi sirkular. Ekonomi sirkular adalah model atau proses ekonomi sirkular yang bertujuan untuk meningkatkan kegunaan dan nilai tambah suatu barang atau produk guna mengurangi limbah dan mengurangi kerusakan sosial dan lingkungan. Melalui ekonomi sirkular, menurutnya, lapangan kerja tercipta, UMKM tumbuh, sampah berkurang, dan lingkungan tetap terjaga.
Saya berharap pemerintahan baru Pak Parbow Subianto mampu menjawab tantangan perekonomian masa depan dengan menganut prinsip kekuatan nasional, kedaulatan negara, kesejahteraan bersama, kejayaan bangsa Indonesia, dan kelestarian lingkungan hidup, kata Gobel.