JAKARTA – Industri TPT di Indonesia tengah menghadapi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). Salah satu perusahaan tekstil terbesar, PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), baru-baru ini dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga (PN) Semarang, dengan utang sebesar Rp 24 triliun.
Dampak langsung dari keputusan ini adalah sekitar 20.000 pekerja Sritex terancam dipecat. Selain itu, efek domino yang terjadi dinilai dapat mengguncang seluruh sektor industri pakaian di Indonesia. Ekonom dan Pakar Hubungan Masyarakat Partai UPN Jakarta Achmad Nur Hidayat mengatakan, ambruknya salah satu pemain utama industri TPT dalam negeri ini menjadi ketakutan bagi pemerintahan Prabowo Subianto untuk segera mengambil tindakan mengatasi krisis yang terjadi.
“Dalam beberapa tahun terakhir, industri pakaian jadi Indonesia mengalami tekanan. Globalisasi, perubahan pola konsumsi, ketatnya persaingan internasional, dan pandemi Covid-19 memberikan dampak yang signifikan terhadap industri ini. Antar,” kata Achmad dalam keterangannya kepada SINDOnews , Sabtu 26/10/2024.
Permasalahan ini diperparah dengan ketergantungan pasar ekspor dan rantai pasok di dunia yang dipengaruhi oleh beberapa faktor eksternal, antara lain perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok serta kenaikan harga produk pertanian di dalam negeri.
White Sritex, kata Achmad, adalah akhir dari masalah yang selama ini terpendam. Dengan beban utang yang besar, ketergantungan pada permintaan global, dan tekanan upah minimum yang lebih tinggi, Sritex pada akhirnya tidak dapat bertahan.
“Dalam konteks ini, situasi yang dihadapi Sritex bukan hanya permasalahan internal saja, namun mencerminkan permasalahan yang dihadapi industri sandang secara keseluruhan di Indonesia,” ujarnya.
Lanjutnya, pemecatan orang-orang di bidang sandang bukan hanya masalah ekonomi, tapi juga masalah sosial. Ribuan pekerja yang kehilangan pekerjaan tidak hanya berdampak pada daya beli, namun juga berdampak pada stabilitas masyarakat di kawasan industri yang sangat bergantung pada kehadiran perusahaan tekstil besar.
“Pekerja yang terdampak PHK sebagian besar adalah tulang punggung keluarga, dan jika kehilangan pendapatan maka dampaknya akan berlipat ganda,” ujarnya.
Selain itu, mayoritas pekerja di sektor sandang adalah perempuan, dan hilangnya sebagian besar pekerjaan tersebut meningkatkan ketidakseimbangan gender dalam angkatan kerja dan meningkatkan angka kemiskinan perempuan di Indonesia. Menurut Achmad, hal ini patut dicermati mengingat industri tekstil merupakan salah satu sektor yang menyerap tenaga kerja terbanyak di Indonesia.
“Sebagai presiden terpilih, Prabowo Subianto mempunyai tugas berat untuk menjaga stabilitas ekonomi dan sosial, terutama mengatasi permasalahan yang dihadapi sektor sandang,” ujarnya.
Menurut Achmad, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan Prabowo dan pemerintahannya untuk meredam dampak gelombang PHK di industri pakaian dan tekstil, yaitu:
Paket Dukungan untuk Pekerja Terdampak, menurutnya, langkah pertama dan segera adalah memastikan pekerja yang diberhentikan mendapatkan dukungan yang memadai. Pemerintah harus segera mengeluarkan paket bantuan kemanusiaan khusus untuk para pekerja yang terkena dampak. Program seperti Bantuan Pendapatan Langsung (BLT) atau bantuan bagi keluarga yang kehilangan pendapatan harus segera disalurkan untuk menghindari meluasnya krisis sosial.
Selain itu, program pelatihan dan keterampilan harus diperluas agar pekerja dapat bekerja di sektor lain. Misalnya, pekerja garmen dengan keterampilan menjahit atau tekstil dapat dilatih untuk pindah ke industri lain yang sedang berkembang, seperti manufaktur atau teknologi.
Restrukturisasi Hutang dan Dukungan terhadap Industri Tekstil Krisis yang terjadi di Sritex menunjukkan betapa rentannya industri tekstil terhadap tekanan ekonomi. Oleh karena itu, perlu adanya kerja sama pemerintah dengan perbankan dan lembaga keuangan untuk memberikan sistem restrukturisasi utang yang fleksibel bagi perusahaan tekstil yang sedang menghadapi masalah.
Ia menambahkan, “cara ini diperlukan untuk mencegah beberapa perusahaan tekstil terjerumus ke dalam kebangkrutan.”
Selain itu, pemerintah dapat memberikan subsidi pajak dan energi kepada perusahaan tekstil untuk membantu mereka mengurangi biaya produksi. Industri pakaian sangat kompetitif, sehingga biaya produksi yang rendah akan membantu perusahaan-perusahaan ini bertahan dan bersaing di pasar global.
Memperkuat Integrasi dan Kerja Sama Industri Industri TPT Indonesia saat ini terfragmentasi dan terfragmentasi, banyak perusahaan kecil dan menengah yang beroperasi secara mandiri. Pemerintah ingin memperkuat kerja sama di bidang ini, dengan menciptakan kerja sama antara pihak besar dan kecil.
Melalui konsolidasi, industri TPT dapat meningkatkan produktivitas, menurunkan biaya produksi dan meningkatkan daya saing global.
Pemerintah juga dapat membentuk kelompok industri TPT yang terintegrasi, dimana perusahaan TPT akan bekerja sama dalam satu lingkungan, dengan akses mudah terhadap infrastruktur, bahan baku, dan teknologi produksi baru.
Memperkuat Pasar Dalam Negeri Hingga saat ini industri sandang Indonesia sangat bergantung pada pasar ekspor. Ketergantungan ini membuat industri rentan terhadap perubahan permintaan global dan ketidakpastian perekonomian global. Oleh karena itu, menurutnya, pemerintahan Prabowo perlu mendorong pasar dalam negeri sebagai strategi untuk menjamin stabilitas industri TPT.
Program seperti kampanye “Bangga Buatan Indonesia” harus terus digalakkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya mendukung produk lokal. Selain itu, pemerintah harus mendorong pengecer dalam negeri dan fesyen untuk memprioritaskan penggunaan tekstil dalam negeri, yang akan membantu industri tekstil dalam negeri.
Inovasi dan Teknologi Di era persaingan global ini, industri tekstil Indonesia harus berubah dengan mengadopsi teknologi dan inovasi. Prabowo harus memfasilitasi investasi pada teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas, seperti penggunaan mesin otomatis, material ramah lingkungan, dan teknologi hemat energi.
Pemerintah juga perlu mendukung penelitian dan pengembangan (R&D) di sektor tekstil, dengan memberikan insentif kepada perusahaan yang berinovasi menciptakan produk tekstil yang bernilai tambah, seperti kain tekstil atau teknologi modern untuk alasan medis dan olahraga.
“Dengan langkah-langkah yang tepat, mulai dari pemberian bantuan sosial dan pelatihan ulang pekerja, dukungan restrukturisasi kredit bagi perusahaan tekstil, penguatan kerja sama industri, penguatan pasar dalam negeri, dan fasilitasi penggunaan teknologi dan statistik, maka Prabowo dapat membantu industri tekstil Indonesia untuk bangkit kembali.” ” kata Ahmad.
Ia mengingatkan, industri ini mempunyai peluang besar untuk terus menjadi penopang penting perekonomian negara. Namun, ia menambahkan, perlu adanya intervensi pemerintah yang segera dan tepat agar industri yang saat ini terpuruk akibat krisis dapat terus berkembang di masa depan.