Bang bang dui waryo
Lulusan Program Diploma Hubungan Internasional Universitas Indonesia
Dosen Program Penelitian Ilmu Komunikasi Universitas Rambun Mangkrat
Buzzer sudah menjadi hal yang lumrah di jejaring sosial. Mereka menjadi peserta penting dalam banyak aktivitas, mulai dari mengiklankan produk dan layanan hingga kampanye spionase terorganisir.
Permasalahan muncul ketika pemerintah menggunakan buzzer sebagai bagian dari kampanye untuk mendiskreditkan pemberontak, aktivis, dan jurnalis yang kritis terhadap pemerintah. Hal ini melibatkan penceritaan kembali narasi menggunakan jaringan dan bot untuk memanipulasi algoritme media sosial untuk mempengaruhi opini publik, merusak reputasi lawan politik, dan mengontrol narasi publik yang beredar di media sosial. Hal ini sering dilakukan dengan melakukan konfigurasi.
Buzzer juga bermasalah bila digunakan dalam operasi intelijen untuk menyebarkan propaganda, seperti menyebarkan pencemaran nama baik. Di dunia yang semakin terhubung dengan komunikasi digital, penggunaan buzzer tidak hanya berdampak pada individu, namun juga menciptakan narasi yang lebih luas dan berbahaya di kalangan masyarakat, menghancurkan kepercayaan publik dan mengguncang fondasi demokrasi.
Di bidang hak asasi manusia, diskriminasi yang dilakukan oleh negara dapat melemahkan perlindungan mendasar bagi individu. Terutama kelompok rentan yang hak-hak sipil dan kebebasan politiknya mungkin dibatasi secara tidak langsung.
Keterlibatan negara dalam kegiatan-kegiatan tersebut dapat melemahkan demokrasi dan merugikan individu dan kelompok yang menjadi sasaran pencemaran nama baik. Negara mempunyai sumber daya yang sangat besar, yang jika digunakan secara sembarangan, dapat membatasi hak atas informasi yang akurat, hak atas privasi dan perlindungan dari pengawasan, serta kebebasan berekspresi dan berkomentar.
Berbagai contoh pemberontakan yang terjadi di Indonesia dan diduga dikelola oleh negara antara lain pengesahan RUU tahun 2019 yang kontroversial, gerakan RUU Shiptaker, dan terorisme saat protes terhadap manipulasi dan tidak adanya jaringan. dari Covid. Lembar Data 19. Dalam kasus pertama, muncul berita di media bahwa polisi mengumumkan bahwa kelompok teroris dan anarkis telah mengambil bagian dalam demonstrasi menentang persetujuan rancangan undang-undang tahun 2019 yang kontroversial (Mumpuni dan Judah, 2019).
Kabag Humas Mabes Polri mengungkapkan adanya masuknya teroris dan kelompok subversif yang membawa kepentingan lain dalam aktivitas regional Indonesia. Berita tersebut diikuti dengan ancaman dan penindasan selama protes.
Ada juga menyelam dan snorkeling. Hal ini menunjukkan bagaimana negara dapat menggunakan teknik militer dalam operasi intelijen untuk mengendalikan masyarakat, menanamkan rasa takut, dan mengganggu gerakan sosial yang damai.
Intelijen mengenai masalah ini menemukan jalannya ke kantong gerakan masyarakat. Akibatnya, pengunjuk rasa yang turun ke jalan ditangkap.
Selain itu, isu ini juga membuat masyarakat ketakutan dan memecah belah gerakan di jejaring sosial, khususnya Twitter, yang saat itu banyak digunakan. Ketika stigmatisasi digunakan dalam situasi seperti ini, kebingungan yang diakibatkannya tidak hanya berdampak pada kelompok sasaran, namun juga masyarakat luas, yang mulai percaya pada proses demokrasi dan institusi yang ada.
Kasus kedua adalah kampanye besar-besaran yang dilakukan pemerintah untuk mendorong kebijakan omnibus law yang saat itu ditentang oleh masyarakat (Wahidin dkk., 2020). Dalam hal ini, tagar #IndonesiaNeedsKerja digunakan sebagai strategi kampanye membanjiri media sosial. Hashtag ini digunakan untuk penolakan masyarakat terhadap ide di media sosial.
Selain itu, ada kabar bahwa segmen anggaran belanja digital yang besar digunakan untuk membayar influencer, pakar, dan influencer media sosial untuk mempromosikan hashtag ini. Fenomena ini menunjukkan kemampuan negara dalam menggunakan kekuatan ekonomi dan teknologi informasi untuk membentuk opini publik.
Terakhir, dan juga salah satu kasus terburuknya, adalah penggunaan data Covid-19 secara politis untuk mempertahankan kekuatan ekonomi selama pandemi 2019 (Masduki, 2021). Dalam hal ini, pemerintah mengumpulkan data terkait virus corona dan menyebarkannya melalui berbagai platform online untuk mendongkrak perekonomian.
Data yang dimanipulasi ini tidak hanya melemahkan transparansi dalam pengelolaan krisis kesehatan, namun juga memutarbalikkan persepsi masyarakat mengenai tingkat ancaman sebenarnya yang dihadapi. Hal tersebut mempengaruhi sikap masyarakat terhadap kebijakan kesehatan yang dilaksanakan.
Pemerintah mempunyai kewajiban untuk menjaga stabilitas. Namun, penggunaan pencemaran nama baik hanya memperburuk dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap negara.
Jika suatu negara memilih jalan ini, hal ini tidak hanya mengancam legitimasi pemerintah, namun juga mengancam hubungan sosial jangka panjang. Akibatnya masyarakat sulit percaya satu sama lain dan menjadi bingung dengan informasi yang diterima.
Teknik intelijen militer seperti operasi psikologis, narasi ganda, banjir berita, atau akal-akalan tidak boleh diterapkan pada masalah sipil. Misalnya saja dalam kasus protes dan omnibus law, pencemaran nama baik justru menurunkan kesadaran masyarakat terhadap persoalan nasional dan pada akhirnya berujung pada sikap apatis.
Dalam jangka panjang, ketidakpedulian ini dapat menyebabkan masyarakat mengabaikan isu-isu penting yang sangat memerlukan perhatian dan kerja sama, sehingga melemahkan institusi sosial dan politik. Dalam kasus COVID-19, misinformasi menyebabkan keresahan sosial dan mungkin menimbulkan ancaman kesehatan yang lebih besar dibandingkan informasi yang membingungkan.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah hanya penghinaan terhadap pemerintah yang dapat menghancurkan demokrasi. Politik yang hanya menguntungkan elite tidak akan mengabaikan kritik dan kepercayaan masyarakat. Ketika masyarakat merasa suaranya tidak lagi didengar, sikap apatis pun akan muncul, sehingga membuka peluang bagi kekuatan otoriter untuk masuk dan melemahkan tatanan sosial yang demokratis.
Sebagai masyarakat yang menyadari pentingnya informasi, kita harus mampu menyaring dan menganalisis informasi, terutama informasi yang berasal dari jejaring sosial. Pemerintah, platform media sosial, dan organisasi masyarakat sipil perlu bekerja sama lebih erat untuk memerangi penyebaran informasi yang salah, terutama pada saat krisis. Masyarakat juga harus lebih waspada terhadap informasi yang menyesatkan dan berkomitmen untuk mendukung hak kebebasan berekspresi dengan cara yang damai dan konstruktif.