SAYEMBARA yang bermula dari hibah tanah dari Pati dan Mataram, berakhir dengan perang antara Jipang dan Pajang. Dalam pertempuran itu, Arya Penangsang penguasa Jipang harus tewas tertembak tombak sakti Kiai Plered.
Penyerangan dilakukan oleh empat kelompok dari Kerajaan Pajang hingga Jipang. Saat itu, Raja Pajang Sultan Hadiwijaya yang dikenal dengan Jaka Tingkir mengumumkan akan menghadiahkan tanah Pati dan Mataram kepada siapa pun yang mampu mengalahkan Arya Penangsang.
Perang pun segera dimulai oleh Kerajaan Pajang. Keempat dewa Mataram berkumpul di rumah Ki Gede Paaraha dan membicarakan seruan perang. Nasehat Ki Juru Martani menyarankan rencana bijak untuk menghabisi lawannya.
Ki Gede Pakarahan dan Ki Panjawi maju memperkenalkan diri. Kai Gede Pakarahan telah bersumpah untuk berjuang tanpa bantuan siapa pun selain keluarganya.
Demikian dikutip dari Babad Tanah Jawi, “Puncak Kekuasaan Mataram: Kebijakan Perluasan Sultan Agung”.
Setelah itu, pasukannya berangkat menuju Kakete dengan pasukan berjumlah 200 orang. Disana mereka menaiki kereta api dari Istana Panagsang untuk mencari api kuda Gagak Rimang.
Sebagai ganti 15 real, salah satu telinga petugas pemadam kebakaran dipotong dan telinga lainnya diikat dengan surat lucu. Dalam kasus seperti itu, kereta yang membutuhkan kembali ke istana.
Patii Ki Mataun Kerajaan Jipang kaget melihat api tersebut, dan Arya Penangsang berusaha menenangkan amarah Gusti.
Arya Penangsang yang duduk di pinggir sangat kesal dengan kedatangan petani yang dieksploitasi dan surat hinaan itu.
Putrinya, Aria Mataram, berusaha menenangkannya. Namun Penangsang melompat dari kudanya dan dicambuk sekuat tenaga. Sedangkan Ki Mataun yang menderita asma, sesak napas dan tidak mampu bertahan.
Raja Jipang menyeberangi sungai setelah meneriakkan kata-kata yang lucu dan sulit. Kemudian muncul kutukan karena siapa pun yang menyeberangi sungai akan kalah dalam pertempuran. Pertempuran sengit pun terjadi.
Penangsang bertarung melawan Karebet meski mengalami cedera perut serius. Sutawijaya putra Kiai Gede Pakaraha kemudian melanjutkan pertarungan dengan menggunakan tombak Kiai Plered, sedangkan kedua saudaranya melindunginya.
Kiai Juru Martani melepaskan seekor kuda betina yang bijaksana, sehingga kuda Aria Penangsang menjadi liar.
Namun Sutavijaya yang menunggangi kuda kecil dan kuda pendek terjatuh. Sejak saat itu seluruh keturunan Sutavijaya tidak diperbolehkan menunggangi kuda tersebut dalam peperangan. Jalannya perang ini jarang terjadi, dan dijelaskan secara lengkap dalam Serat Kanda.
Sutawijaya turun dan berhasil membunuh Arya Penangsang dengan tombak sucinya Kiai Plered. Sebagian tombaknya patah. Masyarakat Sela memandangi jenazah Penangsang.
Ki Mataun yang datang terlambat diserang dan dibunuh. Dengan kepala menempel pada sebatang bambu di tepi sungai, tentara Jipang menyerah.