Cerita Uti, Angkatan Perdana Beasiswa LPDP dan Ilustrator Medis Pertama di Indonesia

Cerita Uti, Angkatan Perdana Beasiswa LPDP dan Ilustrator Medis Pertama di Indonesia

JAKARTA – Uti Nilam Sari merupakan salah satu penerima beasiswa LPDP pertama sepanjang sejarah Uti yang juga berprofesi sebagai fotografer medis pertama di Indonesia.

Uti adalah seorang fotografer medis, sebuah profesi yang mungkin sepuluh tahun lalu tidak terpikirkan. Dalam karirnya saat ini, Uti tidak pernah bercita-cita menjadi seorang dokter.

Meski lulusan Universitas Indonesia (FKUI), ia masuk Fakultas Kedokteran bukan karena keinginannya, melainkan atas permintaan orang tuanya. Hobinya sebelumnya adalah menggambar dan desain.

Baca Juga: Beasiswa LPDP Georgetown University Terbuka, Gratis Gelar Master bagi Calon Diplomatik

Karena tidak sesuai keinginannya, Uti pun menghadapi banyak tantangan.

Sebagai contoh saja, Uti yang termasuk tipe “emosional” tidak mampu mengendalikan emosi dan tenaganya saat berinteraksi dengan pasien dan keluarganya yang keluar masuk RSCM. Tak jarang air mata menetes pada malam hari di balai kota.

Jadi bagaimana dia bisa keluar dari kesulitan seperti itu?

“Tapi alhamdulillah kita menemukan caranya. Karena aku sangat tertarik dengan desain dan teknologi, waktu kuliah aku suka mendesain secara gratis, sebenarnya untuk menjaga kewarasanku, kira-kira seperti itu. Kalau kamu tahu alatnya, ‘ Photoshop itu seperti jalan ninja saya, itu saja,” ujarnya dikutip situs LPDP, Minggu (27/10/2024).

Baca juga: Bunuh Anak Tukang Kayu: Ulfatun Nikmah, Sekolah Tinggi Ilmu Budaya Terima Gelar Magister FEB UGM

Dari awal memang tidak sesuai dengan minatnya untuk belajar kedokteran, ia dihadapkan pada berbagai pengalaman yang tidak menyenangkan, namun dengan semangat yang besar dan dukungan penuh dari keluarganya, wanita berhijab ini dikenal sebagai sahabat, kekasih dan pengasuh. . mampu lulus dari FKUI dengan predikat Cum Laude.

Dalam motivasi ini untuk mendapatkan beasiswa LPDP

Saat menjadi asisten peneliti di RS Kanker Dharmais, Uti kerap tenggelam dalam rasa cemas, banyak orang yang baru berobat ketika penyakitnya sudah terlalu parah hingga merusak pertahanan tubuh.

“Sudah terlambat untuk mengatakan ya. Dan itu menyadarkan kita bahwa kita memerlukan sistem pendidikan kesehatan masyarakat yang lebih baik, dan menurut saya wajah itu bisa sangat membantu,” ujarnya.

Baca Juga: Fahmi Sirma Pelu, Pemuda Asal Ambon yang Berhasil Masuk 53 Perguruan Tinggi Dunia

Sesaat Uti terdiam, mencoba mengingat kembali kenangan yang telah mati lebih dari sepuluh tahun yang lalu, saat Uti mengikuti proses seleksi beasiswa LPDP yang juga serba manual, sebuah legenda yang enggan ia ungkapkan motivasinya selanjutnya. . . pelajaran.

Mendengar pemerintah membuka program beasiswa LPDP, Uti mengajukan dan menuliskan motivasi sebagai salah satu syaratnya dengan informasi yang terbatas.

“Sedih sekali melihat buku-buku ketika saya membaca kedokteran, yang deskripsinya sederhana atau diambil dari luar dan kualitasnya terbatas,” kenangnya.

Mengawinkan kecintaannya terhadap teknologi dan seni dengan latar belakang ilmu kedokteran, Uti memutuskan untuk mengambil langkah pionir di bidang ilustrasi medis, sebuah bidang ilmu yang bahkan mungkin belum ada di negeri ini.

Studi kedokteran klinis di Universitas Glasgow

Uti akhirnya mendapatkan beasiswa LPDP untuk program Perspektif Medis dan Anatomi Manusia yang merupakan hasil kerjasama University of Glasgow dan Glasgow School of Art.

Saat itu, Uti mengambil bidang yang mungkin bukan satu-satunya orang Indonesia yang kuliah di Fakultas Kedokteran. Meskipun di negara maju bidang ini telah berkembang selama lebih dari 110 tahun.

Informasi mengenai beasiswa LPDP ia dapatkan dari suaminya, Mohammad Sani.

Sebagai orang pertama yang merasakan manfaat beasiswa LPDP, ia yakin inilah oase yang dicari generasi muda Indonesia, tidak hanya untuk mempertahankan cita-citanya, namun juga mewujudkannya.

Bantuan yang diberikan UangKita kepada salah satu penerima penghargaan seperti Uti bisa mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah, namun Uti berpendapat bahwa bantuan ini harus dimaknai sebagai investasi, investasi pada sumber daya paling berharga di negara asal, yaitu kekayaan alam seseorang.

“Ya, pendidikan itu mahal, kita tahu itu, tapi kebodohan lebih mahal. “Pendidikan mahal tapi ketidaktahuan lebih mahal, di sinilah LPDP berperan,” tegas Uti.

Membangun Proyek Pembuatan Media Visual untuk Kesehatan

Sekembalinya dari Skotlandia, gelar Uti sebagai lulusan program fotografi medis bersertifikat tidak memberinya kesempatan kerja.

“Saat itu hampir tidak ada respon kawan, tapi saya pikir sebaiknya tetap memulai, jadi saya memperkenalkan diri sebagai fotografer medis freelance di samping pekerjaan utama saya,” kenangnya.

Dari satu pelanggan ke lebih banyak, Uti kemudian berinisiatif membangun bisnisnya sendiri, yang ia namakan Medimedi (Media Medis), sebuah perusahaan yang menyediakan jasa pembuatan media visual untuk kesehatan, dengan tim kecil yang ahli dalam mengintegrasikan pengetahuan ilmiah, persepsi visual. . seni dan teknologi.

“Kita harus (melakukannya) ‘memvalidasi kesehatan’ dan itu harus ‘kecantikan mata’. Dokter yang juga paham teknologi dan seni serta gambar dan anak-anak yang ingin mendengar pendapat tim medis, ya, pekerjaan adalah satu-satunya hal di antara mereka. , “lanjutnya.

Sejak pertama kali berdiri pada tahun 2015, Uti menyadari bahwa dampak yang ingin dicapai akan semakin besar, dan untuk mewujudkannya ia harus menambah tim dan berubah untuk memainkan peran strategis sebagai seorang wirausaha.

Medimedi kemudian beroperasi sebagai perusahaan komersial mulai tahun 2018. Mulai mengerjakan pesanan ilustrasi medis dalam bentuk gambar, dikembangkan untuk animasi dan video, hingga kini dikembangkan untuk teknologi Extended Reality (XR).

XR adalah istilah umum untuk teknologi yang mengubah realitas dengan menambahkan elemen digital ke lingkungan fisik atau nyata, termasuk Augmented Reality (AR), Mixed Reality (MR), dan Virtual Reality (VR). Medimedi bertekad untuk terus berinovasi dan menyebarkan manfaatnya ke skala yang lebih luas dengan misi jangka pendek dan menengah untuk membangun pusat pendidikan kesehatan yang imersif yang didukung oleh pelatih berbasis AI dan pasien virtual.

“Teknologi ini memungkinkan kita mereproduksi skenario kehidupan nyata menjadi objek virtual. Dalam dunia kedokteran, kita memiliki banyak skenario yang termasuk dalam kerangka DICE, yaitu Berbahaya, Tidak Mungkin, Menular, Mahal, atau Langka, Baik.”

Pelatihan kedokteran di masa depan memerlukan biaya yang besar dan terkadang alat pelatihan yang memadai tidak tersedia. Di Medimedi, penggunaan teknologi XR menjadi solusi bagi banyak bidang pendidikan. Teknologi XR memungkinkan pembelajaran dilakukan kapanpun dan dimanapun, sesuai dengan kecepatan pembelajaran individu, tanpa resiko dan peluang untuk mencakup tiga bidang pembelajaran sekaligus.

“Belajar itu ranah kognitif, lalu afektif, lalu psikomotor. Psikomotor ini tidak dirancang khusus, maksudnya kalau kita pakai pengontrol ini pasti pasiennya akan berubah seperti itu, perasaannya akan sangat berbeda. Artinya, secara psikomotorik, kita menciptakan ‘memori otot’ sehingga kita bisa mengingat langkah mana setelah apa, alat apa yang harus dipakai,” ujarnya.

“Ini latihan-latihan yang bisa kami berikan kepada siswa agar pada akhirnya lebih siap untuk berlatih secara realistis,” tutupnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *