Kisah Walisongo Keturunan Tionghoa Sebarkan Agama Islam di Pulau Jawa

Kisah Walisongo Keturunan Tionghoa Sebarkan Agama Islam di Pulau Jawa

Jakarta. Salah seorang Walisong keturunan Tionghoa asli menjadi dakwah Islam di Pulau Jawa. Elitnya dikenal sebagai Sunan Ampel, nama asli Bong Swee Hoo, yang merupakan cucu penguasa komune Kampeng Ta Keng.

Sunan Ampel atau Raden Rahmat datang ke Indonesia tanpa istri. Pada tahun 1447 di Jawa, ia menikah dengan Ni Gede Manila, seorang wanita Tionghoa Peranakan.

Ni Gede Manila adalah seorang wanita Tionghoa yang sudah tinggal di nusantara sejak lahir.

Dikutip dari buku “Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Munculnya Negara Islam di Nusantara” karya Profesor. Slamet Mulyana mengatakan Nyai Gede Manila merupakan putri Bupati Vilatikta, kapten tim Tiongkok yang bermarkas di Tuban, Gan Eng Yew.

Ia dulunya tinggal di Manila, berdasarkan teori di atas, Gang Eng Yu menikah dengan wanita lokal di Manila. Pernikahan tersebut melahirkan Nie Gede Manila, seorang warga negara Tiongkok.

Indonesia Indonesia memiliki penduduk asli Tionghoa lainnya yang bernama Jin Boon.

Nama Jin Boon sendiri hanya memiliki dua kata yang artinya anak yang lahir dari pernikahan pribumi Tionghoa Less.

Babad Tanah Jawa sendiri mengatakan bahwa Raden Patah atau Jin Boon merupakan keturunan Tionghoa setelah orang tuanya menikah dengan pejabat kerajaan Majapahit.

Oleh karena itu, tidak diperbolehkan jika nama keluarga ditunjukkan dengan kata pertama. Dalam masyarakat Tionghoa ia dikenal dengan nama Jin Bun, namun dalam masyarakat Jawa ia lebih dikenal dengan nama Raden Patah.

Sejarawan Slamet Muljana mengatakan dalam bukunya bahwa banyak peranakan Tionghoa tidak lagi bisa berbahasa Mandarin.

Baru pada abad ke-15 dan ke-16 masyarakat Tionghoa Peranakan masih mengenal bahasa Tionghoa. Sebab, mereka biasanya terdidik di masyarakat Tionghoa.

Namun seiring dengan terpecahnya komunitas Islam Tionghoa, Sunan Ampel mulai membentuk komunitas Muslim Jawa. Banyak Muslim Tionghoa Peranakan yang tidak lagi bisa berbahasa Mandarin.

Mereka dididik atau dibesarkan dalam masyarakat Islam Jawa, bahkan anak Sunan Ampel, Sunan Bonang, tidak lagi bisa berbahasa Mandarin.

Namun Qinshan tetap fasih berbahasa Mandarin karena Qin San dibesarkan dalam masyarakat Tionghoa-Islam, sedangkan Sun Bunnang tumbuh dalam masyarakat Islam Jawa.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *