JAKARTA – Komitmen politik dan keseriusan DPR periode 2024-2029. mereka menjadikan pemberantasan korupsi sebagai prioritas yang akan dipertanyakan kembali. Sebab, Rancangan Undang-undang Pengakhiran Properti (RUU) tidak masuk dalam daftar permohonan Program Hukum Nasional (Prolegnas) periode 2025-2029.
Padahal, keberadaan UU Perampasan Aset merupakan instrumen yang sangat penting dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Pengamat hukum dan aktivis antikorupsi Hardjuno Wiwoho menilai, keseriusan DPR dalam memperdebatkan undang-undang ini semakin terlihat ketika berbicara soal perubahan susunan kata dalam undang-undang tersebut dari “penyitaan” menjadi “pengembalian” aset. Alasannya, perubahan susunan kata bisa menghilangkan semangat RUU tersebut.
“Bagi saya, poin penting RUU ini adalah menangani penyitaan properti, bukan sekedar pengembalian properti tanpa sidang di awal properti.” “Yang kami cari adalah di mana mendapatkan aset-aset tersebut,” ujarnya di Jakarta, Sabtu (9/11/2024).
Hardjuno mengaku tak ingin terlibat perselisihan soal nama atau nama RUU tersebut nantinya. Yang terpenting, undang-undang ini merupakan alat penting untuk memperkuat langkah negara dalam menyita harta benda yang diduga merupakan hasil kejahatan tanpa melakukan proses pidana yang panjang.
Yang terpenting bagi saya adalah RUU itu diterima. Saya tantang DPR, untuk secepatnya mengesahkan RUU ini dalam waktu dekat untuk menjamin adanya efeknya untuk menghentikan para koruptor,” jelasnya.
Hardjuno berharap RUU ini bisa menjadi alat yang berguna untuk menuntut transparansi dan akuntabilitas pegawai negeri. Oleh karena itu, RUU penyitaan akan disahkan dengan cepat, tanpa ada perselisihan. Menurut Hardjun, ketakutan itu mungkin disebabkan rumitnya konsep non-konfirmasi penangguhan (NCB) yang dihadirkan dalam RUU tersebut.
Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris, NCB telah diterapkan untuk menyita aset-aset yang diduga terkait dengan kejahatan tanpa surat perintah menunggu hukuman pidana.
Misalnya, di Amerika Serikat, pemerintah dapat menyita properti yang diduga merupakan hasil kegiatan ilegal melalui Civil Forfeiture Reform Act, yang memperbolehkan penyitaan masyarakat dalam kasus-kasus di mana sulit untuk mendapatkan bukti suatu kasus pidana.
Di Inggris, pemerintah juga dapat menyita properti yang diduga terkait dengan kejahatan terorganisir melalui proses serupa, yang khususnya berguna dalam kasus di mana terdapat bukti tidak langsung atau saksi yang menolak memberikan kesaksian.
Hardjuno menegaskan, Indonesia harus belajar dari negara-negara tersebut, yang membuktikan efektivitas penggunaan aset publik dalam pemberantasan korupsi dan kejahatan keuangan berat.
“Jika DPR memahami manfaat undang-undang ini, sebaiknya DPR lebih progresif dan berani memasukkan undang-undang pemusnahan aset ke dalam Prolegnas,” tegasnya.
Dengan usulan aturan tersebut, negara bisa memulihkan pemanfaatan perekonomian secara umum, meski dalam kasus sulit seperti menerima Rp 1 triliun di rumah mantan hakim Mahkamah Agung.
Hardjuno juga mengingatkan, pembahasan RUU ini tidak hanya untuk mendorong pemulihan aset publik, tapi juga kepada empat penegak hukum di Indonesia.
Hardjuno juga menekankan pentingnya pembuktian yang tinggi dalam penerapan NCB untuk melindungi hak-hak masyarakat, sekaligus memberikan kewenangan kepada negara untuk melakukan penyitaan atas barang-barang yang diduga disita.
Contoh praktis penerapan NCB seperti yang dilakukan di Inggris dapat diterapkan di Indonesia agar sistem ini konsisten dengan prinsip hak asasi manusia dan prinsip hukum, ujarnya.
Di tengah kerugian negara akibat korupsi yang mencapai ratusan juta, Hardjuno menegaskan RUU perampasan aset bisa menjadi solusi percepatan pemulihan aset.
Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), kerugian pemerintah yang diperoleh melalui kegiatan ilegal kini hanya mewakili sebagian kecil dari total kerugian yang ada.
“Dengan RUU ini diharapkan pemerintah dapat mengambil langkah yang lebih tegas dan efektif dalam melakukan penyitaan harta benda koruptor, yang secara langsung akan memperkuat anggaran pemerintah untuk kepentingan masyarakat,” kata Hardjuno.
Hardjuno menegaskan, tertundanya pembahasan RUU Perampasan Aset merupakan hilangnya kesempatan bagi Indonesia untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi.
“Kita membutuhkan keberanian dan pemahaman yang mendalam dari seluruh anggota negara agar dapat segera melaksanakan arahan ini, dan melalui RUU ini, Indonesia dapat membangun sistem hukum yang lebih tangguh dalam menghadapi korupsi, namun pada saat yang sama. memperkuat kepercayaan diri bangsa. komitmen negara untuk melindungi barang publik dari kejahatan,” ujarnya. dll.