Kisah Raja Panjalu dan Pasukan Gajah dengan 700 Pengawal jika Keluar Istana

Kisah Raja Panjalu dan Pasukan Gajah dengan 700 Pengawal jika Keluar Istana

Konon Kerajaan Panjalu yang kemudian menjadi Kerajaan Kediri mempunyai pasukan gajah yang menemani raja dalam perjalanannya. Hal ini didasarkan pada kisah-kisah Tiongkok tentang para saudagar dan bangsawan yang singgah di Kerajaan Panjalu.

Pada masa itu, kemungkinan besar merupakan masa sebelum kedua kerajaan Panjalu dan Janggala bersatu membentuk Kerajaan Kediri.

Dalam sebuah karya Tionghoa berjudul Chu-fan-chi, yang ditulis oleh seorang musafir Tiongkok, Panjalu diperintah oleh seorang raja. Raja diberi gelar Lo-ki-lian oleh 3 orang putra dan 4 orang perwira kerajaan.

Konon para abdi raja Panjalu tidak pernah menerima gaji yang disebut juga gaji tetap. Namun, petugas menerima produksi pertanian sebagai alternatif. Jumlah karyawan bawahan yang ditugaskan untuk berbagai tugas lebih dari 300.

Sejarawan Prof Slamet Muljana dalam bukunya “Tafsir Sejarah Nagarkretagama” menjelaskan bahwa ketiga putra tersebut merupakan tiga orang pembesar yang bergelar Mahamenteri, yaitu Rakriyaan Mahaminteri Sirikan, Rakriyan Mahamenteri Halu dan Rakriyan Mahaminteri Hino.

Sedangkan perwira yang bergelar Lo-ki-lin atau Rakrian ada 4 orang, yakni Rakrian Kanuruhan, Rakrian Apih, Rakrian Rangga, dan Rakrian Demang.

Para pembesar ini nyatanya terdapat pada beberapa prasasti Panjalu dan masih bertahan hingga zaman kerajaan Majapahit.

Jumlah pegawai bawahan yang membidangi berbagai tugas lebih dari 300. Itu adalah tanda-tandanya. Namun jumlah yang disebutkan lebih tinggi dari jumlah yang disebutkan dalam pendaftaran.

Sementara itu, para saudagar Tionghoa menggambarkan penampakan fisik Raja Panjalu dengan rambut diikat di kepala, mengenakan jubah dan jubah serta dilapisi kulit, dan kalungnya terbuat dari emas. Dia duduk di kursi persegi di istana. Pembesar yang terlihat berangkat setiap hari memberi hormat atau membungkuk hormat sebanyak 3 kali.

Ketika keluar, raja biasa menunggangi gajah atau kereta. Semua orang yang melihatnya di perjalanan duduk hingga gajah atau kereta lewat. Pasukan yang menemaninya berjumlah 500-700 orang dalam sekali perjalanan.

Saat itu, Panjalu dikenal sebagai penghasil cabai yang banyak digunakan sebagai bahan komersial. Pedagang asing yang datang dengan perahu sering kali menyelundupkan mata uang untuk ditukar dengan cabai.

Hal inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa para pedagang Tionghoa dilarang berdagang di Panjalu, namun larangan tersebut diabaikan.

Para pedagang asing datang ke Panjalu dengan membawa berbagai bahan dagangan antara lain emas, perak, kaca porselen, piring emas dan perak, peralatan tembaga, kain sutra, dan kain damask.

Selain lada, panjalu juga mengandung gading, cula badak, mutiara, kapur barus, tulang kura-kura, kayu cendana, rempah-rempah, belerang, kunyit, dan berbagai jenis burung. Masyarakat Panjalu, yang kemudian menjadi ulat sutera, menenun kain sutera dan kain brokat dengan berbagai warna.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *