Raja Airlangga akhirnya membagi wilayah kerajaannya menjadi dua. Pembagian ini terpaksa dilakukan karena kedua putra Airlangga saling berebut tahta raja setelah mendapat nasehat dari Mpu Bharada.
Putra Airlangga, Sri Samarawijaya, diberi kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru Daha. Sedangkan putranya yang bernama Mapanji Garasakan diberi kerajaan timur bernama Jenggala yang terletak di kota kuno yaitu Kahuripan.
Namun, tidak ada yang menjelaskan dengan jelas bagaimana kerajaan itu terbagi menjadi beberapa bagian. Dalam perkembangannya hanya dua kerajaan yang sering disebutkan, yaitu Kediri atau Panjalu dan Jenggala.
Pada awalnya nama Panjalu atau Pangjalu lebih sering digunakan dibandingkan nama Kediri. Hal ini tercermin dalam prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja Kediri. Dalam buku “Babad Tanah Jawi” yang ditulis oleh Soedjipto Abimanyu, nama Panjalu dikenal juga dengan nama Pu-chia-lung-lung dalam kronik Tiongkok berjudul Ling Wai Tai Ta.
Wilayah Kerajaan Kediri merupakan bagian selatan Kerajaan Kahuripan. Tidak banyak yang diketahui mengenai peristiwa awal berdirinya Kerajaan Kediri. Konon saat itu Raja Kameswara menikah dengan Dewi Kirana, putri Kerajaan Jenggala. Dengan demikian Janggala akhirnya bisa dipertemukan kembali dengan Kediri.
Nama Kediri akhirnya menjadi kerajaan yang cukup kuat di Pulau Jawa. Pada saat itulah ditulis kitab Kakawin Smaradahana yang dalam sastra Jawa dikenal dengan cerita Panji. Sedangkan asal usul nama Kediri konon berasal dari kata kedi yang artinya mandul atau wanita yang tidak mendapat menstruasi.
Menurut kamus bahasa Jawa kuno Wojo Wasita, kedi artinya bidan atau dukun yang dikebiri. Dalam lakon Wayang Sang Arjuno, ia pernah bersembunyi sebagai guru tari di negeri Wirata yang bernama Kedi Wrakantolo. Jika dihubungkan dengan nama tokoh Dewi Kilisuci yang bertapa di Gua Selomangleng, kedi berarti suci atau wadad. Selain itu, kata Kediri berasal dari kata Diri yang artinya adeg, angdhiri, hadir atau menjadi raja, dalam bahasa Jawa Jumenengan.
Nama Kediri sering ditemukan dalam literatur berbahasa Jawa kuno. Kitab-kitab seperti kitab Samaradana, Pararaton, Negarakertagama dan kitab Calon Arang menyebutkan nama Kediri.
Nama Kediri juga muncul dalam beberapa prasasti, seperti prasasti Ceber tahun 1109 Saka yang terletak di Desa Ceker, sekarang di Desa Sukoanyar, Kecamatan Mojo. Prasasti ini menyebutkan bahwa masyarakat Čeker karena pernah mengabdi kepada raja mendapat hadiah berupa tanah feodal.
Prasasti tersebut berbunyi: “Sri Maharaja memasuki Ri Siminaninaring Bhuwi Kadiri”, artinya raja telah kembali ke kerajaannya, atau harapannya pada Bhumi Kadiri. Prasasti Kamulan di Desa Kamulan Kabupaten Trenggalek yang berasal dari tahun 1116 Saka juga menyebutkan nama Kediri yang diserang oleh raja Kerajaan Timur.