JAKARTA – Persatuan Petani Indonesia (HKTI) menyatakan sikap tegas menolak kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek sebagaimana diatur dalam Kebijakan Kesehatan Masyarakat (RPMK). Sebab, kebijakan tersebut tidak hanya dinilai berdampak pada industri tembakau, tapi juga mengancam stabilitas budidaya tembakau dalam negeri dan nasib petani.
Sekretaris Jenderal HKTI Sadar Subagio mengatakan konsumen berhak atas informasi mengenai produk legal yang dikonsumsinya. Kemasan rokok tidak bermerek lebih rentan terhadap pemalsuan produk tembakau. Negara ini juga mungkin kehilangan sejumlah besar pendapatan pajak tembakau senilai ratusan triliun rupee setiap tahunnya.
“Karena yang terdampak bukan hanya industri tembakau, tapi juga pihak terkait lainnya, termasuk petani tembakau. Ini menjadi kekhawatiran perusahaan Hong Kong,” kata Sadar kepada media.
Ia menjelaskan, industri hasil tembakau merupakan ekosistem yang saling berhubungan. Jika salah satu aspek terpengaruh, maka akan menyebar ke area lain dalam sistem. Kebijakan kemasan rokok tidak bermerek yang digagas Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin tentu akan berdampak signifikan terhadap tembakau dalam negeri, khususnya bagi para petani.
HKTI juga menunjukkan riwayat penggunaan oleh kelompok anti tembakau, termasuk Kementerian Kesehatan (Kemenkes), yang menunjukkan bahwa petani tembakau beralih ke tanaman lain. Menurut Sadar, petani memiliki kebebasan penuh untuk memilih tanaman yang ingin mereka tanam, dan mereka tidak boleh dipaksa untuk mengubahnya.
Selain itu, pertanian tembakau juga merupakan cara hidup penting yang membuat jutaan petani tetap bisa bertahan hidup bahkan di daerah kering yang sulit untuk menanam produk lain. Namun, pemerintah harus menjaga petani tembakau.
“Petani tembakau bernasib sama dengan petani produk lain. Kekhawatiran terhadap nasib petani jangan hanya tertuju pada produk tertentu,” tegasnya.
Ia menegaskan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 memberikan kebebasan kepada petani dalam memilih produk yang ingin ditanam. Menurut prinsip ini, pergiliran tanaman hanya akan terjadi jika produk tersebut tidak memberikan margin keuntungan yang cukup kepada petani dalam jangka waktu tertentu.
Dengan demikian, petani sendiri yang akan memutuskan apakah akan menanam tembakau atau beralih ke tanaman lain.
Menanggapi tudingan petani tembakau dan cengkeh yang tidak mengalami kemajuan, Sadar mengatakan kebijakan yang mereduksi industri tembakau menjadi salah satu alasannya. Ia menegaskan, kebijakan yang memberatkan sektor tembakau tidak boleh menjadi solusi, namun pemerintah harus jujur dalam mengelola sektor ini.
“Ke depan, pemerintah harus memberikan prosedur yang adil dan seimbang agar semua pihak merasa nyaman dalam berusaha,” jelasnya.
Terkait pembenahan pemerintahan baru, Sadar mengatakan Presiden terpilih Prabowo Subianto yang menjabat sebagai Ketua Umum HKTI diharapkan bisa lebih memperhatikan penderitaan petani dan industri tembakau.
“Kami berharap pemerintahan baru mampu memberikan perlindungan yang lebih baik bagi sektor tembakau dan petaninya,” kata Sadar.
Ia juga menyinggung rencana ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) di Indonesia, tegas Sadar Subagio dalam penolakannya.
Menurutnya, peraturan yang dibuat oleh FCTC tidak sesuai dengan kondisi unik Indonesia, yang memiliki banyak petani dan pekerja di rantai tembakau. Bahkan tanpa persetujuan pun, petani sudah berada di bawah tekanan. Ia menegaskan, situasi ini tidak boleh bertambah buruk.
“Tidak boleh ada prosedur masuk seperti kemajuan yang ada di FCTC saat ini. Alangkah baiknya Indonesia mengembangkan prosedur nasionalnya sendiri yang sesuai dengan situasi dan kebutuhan negara kita,” tegasnya.
Dengan sikap tersebut, HKTI berharap pemerintah dapat mempertimbangkan kembali sistem kemasan rokok yang sederhana dan dampaknya terhadap berbagai kelompok, khususnya petani tembakau. Prioritas harus diberikan untuk mendukung petani dalam merancang proses yang adil dan seimbang bagi semua pihak yang terlibat.