Antisipasi Konflik Fase Kampanye dan Pungut Hitung Pilkada

Antisipasi Konflik Fase Kampanye dan Pungut Hitung Pilkada

Dr.Anand Phuji Uthama

Dosen, Program Penelitian Perdamaian dan Resolusi Konflik, dan

Rencana Studi Hukum Darurat

Perguruan Tinggi Keamanan Nasional, Universitas Pertahanan Nasional

Beberapa hari lagi akan ada pemungutan suara serentak pemilihan kepala daerah. Calon bupati, wali kota, gubernur, dan wakil gubernur saat ini sedang ramai-ramainya. Mereka berusaha mendapatkan dukungan dari mesin partai dan tim suksesnya untuk meraih jumlah suara maksimal pada 27 November.

Beberapa hari jelang pencoblosan, dinamika politik pilkada serentak mulai mendapatkan momentum. Dengan gencarnya kampanye para kandidat. Hal ini terlihat dari diskusi publik yang dilakukan KPU di berbagai daerah. Di beberapa tempat, mungkin terjadi bentrokan antar pendukung kandidat.

Situasi ini patut ditanggapi dengan serius agar intensitas pilkada serentak tidak berubah menjadi konflik sosial. Stabilitas dan keamanan sosial di tingkat regional harus dipantau dan dikendalikan untuk mencegah destabilisasi di tingkat nasional.

Periksa kurva afinitas konflik

Secara umum, ada empat tahapan dalam penyelenggaraan pilkada yang perlu diperhatikan karena tidak menutup kemungkinan akan terjadi konflik. Keempat tahapan tersebut meliputi pencalonan, kampanye, pemungutan suara, serta penghitungan dan identifikasi suara.

Tahapan-tahapan ini dapat digambarkan sebagai kurva potensi konflik atau kerentanan. Kemungkinan konflik relatif rendah pada tahap pencalonan dan secara bertahap mencapai puncaknya pada tahap kampanye dan penghitungan suara. Setelah itu, kemungkinan eskalasi konflik berangsur-angsur berkurang.

Pada tahap kampanye, pemungutan suara, dan penghitungan suara, kurva potensi konflik cukup tinggi, dan potensi atau kerentanan terhadap konflik dapat bertahan dalam jangka waktu yang relatif lama. Pada tahap ini, dalam jangka waktu tertentu, hubungan sosial dalam masyarakat berada dalam keadaan tensi yang tinggi.

Selama kampanye, kandidat dan tim suksesnya menggunakan berbagai strategi politik untuk meraih simpati pemilih. Dalam proses pembangunan daerah, tidak hanya terjadi konflik gagasan atau konsep, namun dalam praktik politik elektoral, para calon seringkali saling adu mulut bahkan saling menghina. Atau gerakan kulit hitam yang ditakuti.

Strategi ini tidak hanya bisa diikuti oleh sang kandidat, namun juga oleh tim sukses, suporter, atau masyarakat pada umumnya. Praktik ini seringkali menimbulkan konflik sosial.

Konflik juga dapat terjadi pada saat kampanye pemilu jika diadakan acara kampanye publik yang melibatkan pendukung dalam jumlah besar. Berkumpulnya dan berpindahnya orang dalam jumlah besar juga memerlukan kehati-hatian untuk menghindari konflik langsung yang berskala besar.

Tahap kedua yang memiliki risiko konflik tinggi adalah pada saat pemungutan dan penghitungan suara. Fase ini menentukan apakah kandidat dapat memenangkan pertarungan politik yang telah berlangsung sejak pencalonannya.

Tidak hanya persaingan politik antar kandidat, kesalahan teknis dalam pemungutan dan penghitungan suara pada tahap ini juga dapat menimbulkan konflik. Selama fase eliminasi ini, eskalasi konflik mungkin mencapai puncaknya.

Setelah tahapan pemungutan dan penghitungan suara, risiko konflik berangsur-angsur berkurang. Kurva konflik mulai bergerak ke bawah. Meski masih terdapat potensi konflik akibat ketidakpuasan terhadap hasil, namun intensitas konflik semakin berkurang. Selain itu, menyelesaikan keluhan melalui mekanisme peradilan yang menangani perselisihan hasil pemilu juga akan membantu.

Zona konflik

Ini adalah pertama kalinya dalam sejarah Indonesia pilkada dilaksanakan secara serentak, dan bupati, walikota, dan gubernur Indonesia dipilih secara bersamaan. Kota/daerah di Provinsi Yogyakarta dan Jakarta merupakan wilayah administratif. Indonesia akan menyelenggarakan pilkada di 415 kabupaten, 98 kota, dan 37 provinsi, atau seluruhnya 548 daerah.

Bawaslu memiliki Indeks Kerawanan Pemilu 2024 yang menunjukkan tingkat kerentanan penyelenggaraan Pemilu 2024.

Di antara dimensi-dimensi tersebut, konflik pemilu daerah dapat timbul dari kondisi daerah yang rentan terhadap konflik sosial, atau dari kondisi sosial politik tertentu di daerah yang dapat menimbulkan konflik. Selain itu, persaingan yang ketat dan ketat dalam kancah pemilu juga dapat menimbulkan konflik.

Kedua dimensi ini menuntut berbagai pemangku kepentingan dan aparat keamanan penyelenggara pilkada untuk selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinya konflik. Tidak hanya di daerah rawan konflik, namun juga di daerah yang persaingan politik antar kandidatnya akan semakin ketat.

Pemantauan ini hendaknya dilakukan secara terus menerus pada tahapan pemilu dengan mencermati perkembangan dinamika politik daerah mulai dari pencalonan hingga penghitungan suara. Mengingat pemilu kali ini merupakan kontes politik yang terdiri dari beberapa tahapan, maka situasi kontroversial dapat dinilai sedini mungkin.

Kewaspadaan di bidang-bidang yang lemah secara sosial dan politik serta terdapat potensi persaingan yang kuat antar kandidat memerlukan penilaian ganda yaitu kewaspadaan dan ekspektasi.

Antisipasi dini, respon cepat dan kinerja terukur

Pilkada dilaksanakan serentak setelah pemilu presiden dan legislatif. Keduanya akan digelar pada tahun 2024.

Tentu saja dua persaingan politik besar ini menghabiskan energi sosial masyarakat. Terutama para calon, calon legislatif, wakil partai, simpatisan, bahkan pemerintah, aparat pertahanan dan keamanan serta penyelenggara pemilu.

Namun kedua peristiwa besar tersebut merupakan upaya untuk lebih melestarikan dan meningkatkan kehidupan demokrasi negara dalam aspek sosial dan ketatanegaraan. Oleh karena itu, kedua hal tersebut perlu dilaksanakan dengan tetap menjaga keamanan dan stabilitas.

Dinamika pemilu presiden dan legislatif menunjukkan bahwa keamanan dan stabilitas tetap baik. Pemilihan dewan lokal, yang hanya tinggal beberapa hari lagi, juga harus diselenggarakan dengan mempertimbangkan keamanan dan stabilitas nasional.

Potensi konflik akibat keamanan sosial dan politik daerah atau ketatnya persaingan politik antar kandidat harus diantisipasi sejak dini. Aparat keamanan, termasuk kepolisian dan TNI, dibantu KPU dan Bawaslu, harus mampu bekerja sama mencegah konflik komunal dan menyikapi secara tepat potensi konflik dengan melakukan eskalasi.

Di beberapa wilayah dengan tingkat kerentanan tinggi dan persaingan yang ketat, perlu dilakukan pemantauan secara cermat terhadap potensi terjadinya konflik. Upaya peningkatan kesadaran oleh para kandidat dan tim mereka harus terus ditekankan, dan pemilihan kepala daerah yang damai harus selalu diprioritaskan. Edukasi masyarakat juga diperlukan untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam pemilukada yang damai.

Selain itu, pejabat pemerintah daerah di tingkat bawah juga harus bersiap untuk menghindari dan meminimalkan konflik dalam menyelenggarakan pemilihan dewan daerah pada waktu yang bersamaan.

Kampanye ini sudah berakhir dan memasuki fase kritis pemungutan suara dan penghitungan suara. Pada tahap ini, pihak berwenang harus siap memantau perkembangan potensi konflik sehingga tindakan yang tepat dapat diambil untuk mengatasinya.

Akhir kata, kami berharap pilkada serentak ini menjadi pertanda bahwa masyarakat Indonesia dengan karakteristiknya yang beragam dapat lebih baik dalam mengelola proses demokrasi dan meredam konflik akibat pilkada. Kesuksesan peristiwa politik besar pertama ini akan menjadi catatan sejarah dan pelajaran penting bagi masa depan bangsa Indonesia.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *