PYONGYANG – Militer Korea Utara (Korut) memerintahkan unit artileri garis depan bersiap sepenuhnya untuk menembak ke Korea Selatan (Korsel).
Perintah tersebut dikeluarkan setelah pesawat tak berawak Korea Selatan menjatuhkan selebaran propaganda di Pyongyang.
Pemerintah Korea Utara mengatakan Jumat lalu bahwa Korea Selatan telah menerbangkan drone yang membawa propaganda di ibu kota pada tiga kesempatan terpisah bulan ini, termasuk dua penerbangan awal pekan lalu.
Meski Korea Utara telah merespons kampanye propaganda sebelumnya dengan mengirimkan balon berisi sampah dan kotoran ke Korea Selatan, insiden terbaru ini memerlukan respons militer, demikian laporan kantor berita negara Korea Utara, KCNA, pada Senin (14/10/2024).
“Staf Umum [Tentara Rakyat Korea] mengeluarkan perintah operasi awal pada 12 Oktober untuk mempersiapkan sepenuhnya unit artileri gabungan untuk menembak di perbatasan,” tulis KCNA, mengutip Kementerian Pertahanan Korea Utara.
“Perintah tersebut menyiagakan delapan brigade artileri berat untuk menembak dengan kekuatan tempur penuh,” lanjut laporan itu.
Korea Utara diyakini telah mengerahkan lebih dari 10.000 artileri di sepanjang perbatasan selatannya, termasuk 6.000 artileri di wilayah pusat populasi utama Korea Selatan, menurut laporan tahun 2020 oleh RAND Corporation, sebuah wadah pemikir yang didanai oleh militer AS.
Lebih dari 205.000 orang bisa meninggal di Seoul, Incheon, Gimpo dan kota-kota Korea Selatan lainnya dalam waktu satu jam jika perang pecah antara kedua Korea, menurut perkiraan laporan RAND.
Dalam sebuah pernyataan yang disiarkan oleh KCNA pada hari Minggu, Kim Yo-jong, adik perempuan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un, memperingatkan bahwa Pyongyang memandang distribusi selebaran di Korea Selatan sebagai provokasi serius yang bermotif politik dan pelanggaran kedaulatan.
“Ketika drone [Korea Selatan] ditemukan lagi di langit di atas ibu kota kita, hal itu tentu akan menimbulkan bencana yang mengerikan,” kata Kim Yo-jong.
Menteri Pertahanan Korea Selatan Kim Yong-hyun awalnya membantah mengirim drone ke wilayah udara Korea Utara.
Namun, Kepala Staf Gabungan Korea Selatan kemudian mengatakan mereka tidak dapat memastikan apakah tuduhan Korea Utara itu benar.
Kontroversi mengenai serangan pesawat tak berawak ini terjadi kurang dari sebulan setelah Korea Utara mengumumkan bahwa mereka telah menguji varian baru rudal balistik Hwasong-11 yang dipersenjatai dengan hulu ledak konvensional “super besar” seberat 4,5 ton.
Pengumuman ini muncul beberapa minggu setelah AS dan Korea Selatan menyelesaikan latihan militer skala besar di wilayah tersebut.
Meskipun Washington dan Seoul menggambarkan latihan tersebut sebagai latihan defensif, Kementerian Luar Negeri Korea Utara menyebutnya sebagai “latihan perang yang provokatif untuk melakukan agresi”.