JAKARTA – Saat ini kawasan dan bangunan cagar budaya cenderung mengalami penurunan kualitas bahkan mulai hilang akibat beberapa tantangan seperti globalisasi, tekanan ekonomi, pertumbuhan penduduk, dan hal tersebut diperburuk oleh iklim. . mengubah parameter.
Padahal, kawasan dan bangunan cagar budaya sudah sepatutnya dilestarikan dan dikelola karena mempunyai nilai-nilai penting, antara lain nilai sejarah, nilai ilmu pengetahuan, nilai budaya, nilai pendidikan, nilai politik, nilai ekonomi, dan nilai integritas (keaslian desain, pengelolaan lingkungan hidup). ). ), bahan/bahan dan tenaga kerja).
Sehubungan dengan itu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Sekretariat Jenderal Biro Komunikasi Publik menyelenggarakan acara bedah buku bertajuk “Menangani Warisan Budaya Orang Mati”. Prof. Arief Sabaruddin dan Angga Arief Gumilang S. Acara bedah buku tersebut disampaikan oleh Angga Arief Gumilang S, ST., MT dengan sambutan dan diskusi oleh Dr. Topan Madiasworo, ST., MT digelar di Arena Inovasi dan Kreativitas Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada Kamis (17/11/2024).
Dalam pidatonya Dr. Taufans Madiasvoro, ST., MT, Kepala Bidang Pelaporan Manajemen dan Pengembangan Pelayanan Publik, Kantor Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian PUPR menjelaskan, acara bedah buku ini merupakan bagian dari rangkaian acara perayaan Hari Habitat dan Sedunia City Day 2024, dan juga bertujuan untuk meningkatkan minat membaca, literasi dan pengetahuan, khususnya terkait dengan konservasi situs dan bangunan warisan budaya.
Acara bedah buku ini juga dimaksudkan untuk mengenang jasa-jasa penulis buku pertama yang telah meninggal dunia. Prof. Arief Sabaruddin yang kembali ke Rahmatullah pada bulan Desember 2023 sebagai anggota PUPR yang telah banyak berkontribusi dalam pembangunan dan ilmu pengetahuan khususnya di bidang perumahan dan permukiman di Indonesia.
Lebih lanjut Taufan menjelaskan, bangunan cagar budaya merupakan bagian dari kota. Kota yang baik adalah kota yang mengingat tahapan-tahapan perkembangannya, karena dengan mengingat tahapan-tahapan perkembangannya, kita dapat menelusuri dan menikmati sejarah terbentuknya kota tersebut, yang memberikan kota tersebut suatu kekhasan dan identitas yang berbeda dari satu kota ke kota lainnya. atau dengan kata lain menjadi simbol identitas kota kita.
Buku ini merupakan pengetahuan tacit, atau pengetahuan individu di bidang pelestarian bangunan cagar budaya, yang dicatat dan didokumentasikan dalam bentuk buku agar nilai ilmu yang terkandung di dalamnya dapat diwariskan kepada generasi berikutnya, tutupnya. Taufan.
Sementara itu, Angga Arief Gumilang S menjelaskan, dipilihnya Gedung AA Maramis I, Jakarta Pusat sebagai studi kasus Pengelolaan Bangunan Cagar Budaya karena memiliki nilai sejarah yang cukup menarik. Gedung ini merupakan salah satu bangunan kolonial tertua di Jakarta. Dilihat dari sejarahnya, gedung AA Maramis merupakan bangunan cagar budaya yang terbengkalai, terhenti pembangunannya selama kurang lebih 15 tahun pada masa pemerintahan Hermann Willem Daendel, Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
“Bangunan yang sudah tertahan selama 15 tahun ketika ingin dilanjutkan bukanlah hal yang mudah. Bahannya sudah rusak, standar teknis atau SNI-nya berubah. Jadi tidak sesederhana melanjutkan pembangunan berkelanjutan. Setelah absen selama 15 tahun, dilanjutkan oleh (Gubernur Jenderal Thomas Stamford-) Raffles, namun fungsinya berubah. Awalnya direncanakan oleh Deendel sebagai istana, kemudian menjadi kantor pemerintahan. “Dan setelah Indonesia merdeka, sekarang menjadi gedung Kementerian Keuangan,” kata Angga selaku penulis kedua.
Dalam diskusi tersebut Taufans menjelaskan tentang isi petunjuk teknis dan tahapan yang harus dilakukan dalam pengelolaan bangunan cagar budaya, mulai dari awal penggundulan, pemeriksaan konstruksi, materi laporan hasil, konsep metode praktis perbaikan dan perkuatan. , jika teknik penelitian aspek konstruktif bangunan cagar budaya dengan menggunakan pasangan bata menarik dalam sistem konstruksi buku ini.
Diakhir acara, Taufan menyampaikan harapannya melalui acara bedah buku “Pengelolaan Bangunan Cagar Budaya” ini kita mendapatkan pembelajaran, ilmu dan sekaligus menjadi motivasi dan inspirasi bagi kita semua tentang pentingnya melestarikan dan menjaga kelestarian lingkungan hidup. Bahasa Indo. warisan. , baik cagar alam maupun cagar budaya, dan seluruh cagar alam, termasuk cagar budaya dan bangunan, bersifat berkelanjutan secara lingkungan, sosial, dan ekonomi.
Acara bedah buku ini dilaksanakan secara luring dan daring dan diikuti sekitar seratusan peserta dari Dinas PUPR, akademisi, mahasiswa, dan masyarakat umum secara daring. Acara ini disiarkan langsung melalui media Zoom, channel YouTube PUPR dan Radio Sonora Yogyakarta.