JAKARTA – Sejumlah pakar hukum menilai, terpidana Mardani H. Maminga (MM), mantan Bupati Tan Bambu Kalimantan Selatan, belum terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana yang didakwakan jaksa.
Putusan panel tingkat pertama, banding, dan kasasi dibangun konstruksi hukum hanya berdasarkan asumsi dan imajinasi karena tidak memperhitungkan fakta hukum dan tidak berdasarkan alat bukti atau alat bukti yang diajukan di muka persidangan.
Kesimpulan para ahli hukum tersebut di atas terungkap dalam resensi buku hasil pemeriksaan putusan tindak pidana korupsi di Pengadilan Negeri (PN) Banjarmasin nomor 40/Pid.Sus-TPK/2022/PN .BJM. . jo Putusan Banding No. 03/Pid.Sus-TPK/2023/PT.BJM. jo Putusan Kasasi no. 3741 K/Pid.Sus/2023 atas nama terdakwa Mardani H. Maming.
Bedah buku berjudul: “Menemukan Kekeliruan dan Kelalaian Hakim dalam Persidangan Kasus Mardani H.” Maming”, yang diterbitkan oleh Fakultas Hukum Pusat Studi Kepemimpinan dan Pembangunan Hukum (CLDS), Universitas Islam Indonesia (UII) bekerja sama dengan PT Raja Grafindo (Penerbit Buku Rajawali) akan diselenggarakan di Yogyakarta pada Sabtu, 5 Oktober , 2024.
Bedah buku ujian kali ini melibatkan tim penguji yakni pakar hukum perdata/bisnis Ridwan Khairandi; ahli hukum pidana Mujakkir); pakar hukum pidana Hanafi Amrani; Pakar hukum administrasi negara Ridvan HR; ahli hukum pidana dan kriminologi Eva Achjani Zulfa)
Selain itu, pakar hukum pidana Muhammad Arif Setiawan, pakar hukum perdata Nurjihad; pakar peradilan pidana dan viktimologi Mahrus Ali; Kandidat Doktor dan Ahli Hukum Perdata/Perusahaan Karina Dvi Nugrahati Putri; dan mahasiswa PhD serta pakar hukum perdata/perusahaan Ratna Hartanto.
Sementara itu, Romli Atmasasmita, Yos Johan Utama dan Topo Santoso hadir sebagai pembicara/diskriminator sekaligus legal opinion makers dan amicus curiae.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran (Unpad) Romli Atmasasmita menilai kasus dugaan korupsi yang menimpa Mardani H Maming memiliki sejumlah kelemahan. Setidaknya ada delapan kesalahan yang ia catat, salah satunya adalah moral.
Romley menegaskan, kasus Mardani H Maming tidak seharusnya dilanjutkan sejak awal karena fakta hukumnya tidak jelas dan tidak bisa dibuktikan. Ia mengatakan, ada banyak taktik yang dilakukan polisi untuk melanjutkan proses kasus ini. Termasuk penggunaan artikel yang kurang sesuai dengan konteks. Romley menilai karena sulitnya pembuktian, penyidik menggunakan pasal 12B UU Pemberantasan Korupsi agar terlihat mudah dan mencurigakan.
Padahal seharusnya penyidikan kasus ini terhenti dengan diterbitkannya SP3. Namun KPK tidak melakukan hal tersebut, melainkan memaksanya. “Kalau memang dilihatnya sulit, hentikan SP3, tidak demikian, karena alasan KPK tidak bisa melakukan SP3 adalah harusnya diserahkan ke kejaksaan kalau mau, tidak akan bisa. Selesai.” Dipaksa terus saja,” tegas Romli.
Menurut Romley, baik polisi, jaksa, maupun hakim telah melakukan kesalahan dalam menangani kasus Mardani H Maming. Romley mengatakan, bukan tidak mungkin kasus ini bernuansa politik kuat. Oleh karena itu, hukum seolah-olah telah dibuat dan sah serta ada.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Topo Santoso, penelitian yang dilakukan para ahli hukum merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Terlebih lagi, keputusan hakim tidak lepas dari kemungkinan kesalahan. Menurutnya, penyidikan yang dilakukan ahli hukum merupakan upaya yang sangat penting. Ia mengatakan, kritik dari kalangan akademisi penting dilakukan, karena kemungkinan terjadinya error atau kesalahan wasit selalu ada.
Kritik yang disampaikan kemudian harus menjadi perhatian aparat penegak hukum. Tak terkecuali hakim di lembaga peradilan. “Sebagai penyebab kasasi, misalnya penerapan hukum yang salah, selalu mungkin saja terjadi.” Sehingga kritik terhadap upaya misalnya mengusut, memberi komentar, memberikan catatan kritis, harus diterima oleh lembaga peradilan. katanya.
Ada sembilan kesimpulan dari hasil bedah buku terkait kasus terpidana Mardani H. Maminga, yakni pertama, bagi terpidana Mardani Maminga tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana tercantum dalam dakwaan JPU. Putusan-putusan tingkat pertama, banding, dan kasasi dibangun konstruksi hukum hanya berdasarkan asumsi dan imajinasi karena tidak memperhitungkan fakta hukum dan tidak berdasarkan bukti-bukti yang dihadirkan dalam persidangan.
Kedua, dakwaan/tuntutan terhadap terdakwa terkesan terlalu memaksa karena fakta-fakta yang diungkapkan dalam persidangan tidak didasarkan pada bukti yang cukup bahwa terdakwa Mardani H. Maming memang menerima uang yang diklaim diberikan kepada terdakwa, nyatanya rekening perusahaan tersebut berdasarkan perjanjian kerjasama sebagaimana diatur dalam hukum niaga yang dilanggar.
Ketiga, dakwaan merupakan pasal suap, namun pelaku suap tidak pernah diperiksa pada tingkat penyidikan sebelum persidangan. Sebab, tidak dapat dibuktikan adanya pertemuan pikiran (kesepakatan bicara) antara pemberi suap mendiang Hendry Sethi dengan terpidana Mardani H. Maminga yang diduga sebagai terpidana, jaksa kemudian menyatakan adanya “perjanjian diam-diam” yang secara hukum tidak dikenal dalam hukum pidana.
Keempat, Pasal 93 UU Minerba menyebutkan larangan pemindahtanganan kepada pemilik OP IUP dan bukan kepada pejabat, maka surat keputusan pengalihan OP IUP yang ditandatangani oleh terpidana Bupati Tanah Bumbu adalah sesuai dengan kewenangan dan OPnya. IUP mempunyai izin yang jelas dan murni, dengan kata lain OP IUP tidak mempunyai permasalahan hukum dan memenuhi persyaratan administratif.
Kelima, dapat dikatakan bahwa penuntut menghadapi kesulitan teknis dalam membuktikan bahwa pemberian tersebut diberikan kepada terdakwa karena terdakwa melakukan atau tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan kewajibannya (berdasarkan Undang-Undang Pertanahan Norwegia dan Undang-Undang Pertambangan). ).
Keenam, tergugat yang menjabat bupati, setelah dilimpahkan kewenangannya oleh Menteri Dalam Negeri berdasarkan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, diberikan kewenangan untuk menerbitkan izin dalam hal permohonan IUP, dan izin tersebut. tentu saja dikabulkan. . atas permintaan pemohon dan juga dilaporkan kepada Menteri Pertambangan; suatu kewajiban yang biasanya dilaksanakan dalam sistem birokrasi.
Ketujuh, meskipun quod non terbukti melanggar hukum sebagaimana diuraikan dalam dakwaan, namun kedua belas peraturan perundang-undangan tersebut termasuk dalam kelompok hukum administratif-pidana, sehingga tidak tepat secara hukum menerapkan hukum tipikor pada administrasi. pelanggaran. . karena bertentangan dengan ketentuan Pasal 14 UU Tipikor.
Kedelapan, angka 7 di atas diperkuat dengan penafsiran terhadap ketentuan Pasal 14 UU Pemberantasan Korupsi, baik penafsiran historis, logika sistemik, dan teleologis. Ketentuan Pasal 14 UU Pemberantasan Tipikor dimaksudkan untuk membatasi penafsiran hukum dalam menerapkan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Korupsi.
Kesembilan, putusan kasasi perkara korupsi atas nama Mardani H. Maming jelas memuat kesalahan hakim atau kekeliruan yang nyata-nyata dan memenuhi dasar PK (Peninjauan Kembali), yaitu adanya keadaan baru yang diketahui tetapi tidak pernah dikomunikasikan. untuk PN (putusan pengadilan), PT (Mahkamah Agung), dan kasasi sehingga dalam putusan kasasi harus dinyatakan bahwa terdakwa dibebaskan atau dibebaskan dari segala tuntutan atau tuntutan penuntut tidak dapat diterima atau setidak-tidaknya dituntut. hukumannya dikurangi.
Seperti diketahui, majelis tingkat pertama Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Negeri Banjarmasin) memutus Mardani Maming bersalah dan harus menjalani hukuman 10 tahun penjara, serta denda 500 juta dinar.
Mantan Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) ini diduga terbukti menerima suap atas penerbitan surat keputusan pengalihan IUP OP dari PT Bangun Karia Pratama Lestari (BKPL) ke PT Prolindo Cipta Nusantara (PT PCN ). Hal itu dilakukan saat Mardani Maming menjabat Bupati Tanah Bumbu.
Majelis hakim yang diketuai Heru Kuntyoro juga mengatakan, denda tambahannya adalah membayar ganti rugi negara sebesar 110,6 miliar rupiah. di penjara.
Mardani H Maming kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Banjarmasin (PT). Majelis hakim yang dipimpin Gusrizal justru menambah hukuman penjara Mardani menjadi 12 tahun.
Mardani Maming yang tidak menerima keputusan PT Banjarmasin mengajukan banding ke Mahkamah Agung (MA). Hakim Agung Suhadi yang didampingi Hakim Agung Agustinus Purnomo Hadi dan Hakim Agung Suharto dengan tegas menolak permohonan kasasi.
Selain itu, majelis hakim MA memerintahkan Mardani Maming membayar ganti rugi sebesar Rp 110.604.371.752. (Rp 110,6 miliar) selama 4 tahun penjara. Kemudian Mardani Maming mendaftarkan PK pada 6 Juni 2024. PK yang diberikan Mardani H Maming dengan nomor 784/PAN.PN/V15-U1/HK2.2/IV/2004.
Dalam ringkasan persidangan disebutkan, majelis hakim yang memimpin Peninjauan Kembali (PK) Mardani H Maming adalah Ketua Majelis Sunarto, Anggota Majelis 1 Ansori, dan Anggota Majelis 2 PRIM Hariadi. Sementara wakil panitera dalam proses peninjauan kembali (PK) Mardani H Maming adalah Dodik Setio Wijaianto.