Hentikan Kekerasan Seksual Anak!

Hentikan Kekerasan Seksual Anak!

Nihayatul Wafiroh

Wakil Ketua Komisi IX DPR RI

Kasus pemerkosaan dan pembunuhan anak berusia 7 (tujuh) tahun yang terjadi di Kabupaten Banyuwangi baru-baru ini patut menjadi momentum bagi kita untuk memikirkan kembali mengapa kasus kekerasan seksual pada anak masih terus terjadi.

Mengapa UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) Tahun 2022 belum cukup efektif mencegah kekerasan seksual terhadap anak? Langkah apa yang perlu diambil?

Artikel ini akan menjelaskan penyebab kekerasan seksual dan solusi komprehensifnya, guna lebih melindungi generasi mendatang.

Kasus Banyuwangi hanyalah satu dari ribuan kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia. Kementerian PPA berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) mencatat pada periode Januari hingga Juni 2024 terdapat 7.842 kasus kekerasan terhadap anak, yang terdiri dari 5.552 korban perempuan dan 1.930 korban. adalah korban laki-laki.

Setelah kekerasan fisik dan psikis, kasus kekerasan seksual menduduki peringkat nomor satu. Kasus-kasus yang tercatat tersebut merupakan sebagian kecil dari kasus-kasus yang benar-benar terjadi di lapangan. Ibarat gunung es, hanya sedikit kasus yang dilaporkan. Kebanyakan kasus diselesaikan secara damai, tanpa mempertimbangkan kebutuhan anak sebagai korban.

Memahami kekerasan seksual terhadap anak dan mengedepankan kebutuhan para korban sangatlah penting, mengingat dampak kekerasan seksual jika tidak ditangani dapat bertahan lama dan dapat menimbulkan lingkaran kekerasan yang berulang. Dengan kata lain, korban akan menjadi pelaku kekerasan, karena trauma atau rasa dendam yang tidak kunjung pulih.

Penelitian WHO (2017) menegaskan bahwa paparan kekerasan seksual akan mempengaruhi kesehatan mental anak. Sebab, pelaku dan korban tinggal di lingkungan yang sama, seperti lingkungan keluarga, lingkungan sekitar, lingkungan sekolah, atau bahkan di asrama.

Lingkungan sekitar yang tidak aman ini menyebabkan korban menderita depresi, fobia, dan curiga terhadap orang lain dalam jangka waktu yang lama.

Penelitian sosial (Arlinda, 2014) mengemukakan bahwa kekerasan seksual pada masa kanak-kanak akan menyebabkan kerusakan saraf pada korteks. Anak-anak hadir dengan gangguan emosi, keterampilan sosial, delusi, dan perilaku yang berisiko terhadap kesehatan, seperti penyalahgunaan narkoba dan perilaku seksual pada usia dini.

Segala tindakan kekerasan seksual yang dialami anak akan terekam di alam bawah sadarnya dan terbawa hingga dewasa bahkan sepanjang hidupnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika penelitian ini menunjukkan bahwa dampak paling serius lainnya adalah 70% kemungkinan anak-anak korban kekerasan seksual akan menjadi penjahat di kemudian hari.

Di sinilah pentingnya mengakhiri kekerasan seksual pada anak berdasarkan perspektif kebutuhan korban. Trauma korban bisa disembuhkan, sehingga penjara dan budaya kekerasan bisa dihindari.

Oleh karena itu, Pasal 23 UU TPKS yang menegaskan bahwa tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan di luar proses peradilan dan korban berhak mendapatkan layanan rehabilitasi dan pemulihan, sebaiknya dilaksanakan sebaik-baiknya.

Kasus kekerasan seksual sebaiknya ditangani secara komprehensif, yaitu melalui pendekatan budaya dan pendekatan hukum. Pendekatan budaya bertujuan untuk membuka pemahaman masyarakat bahwa kekerasan seksual pada anak merupakan kejahatan serius terhadap kemanusiaan yang harus dihindari.

Hal itu untuk menyempurnakan transformasi budaya yang masih memandang perempuan sebagai pelayan atau objek pemuas hasrat seksual laki-laki, sehingga perempuan dan laki-laki adalah makhluk yang setara, sehingga diperlukan kehidupan seks yang aman dan nyaman. Keduanya merupakan subyek yang harus saling menghormati dan melengkapi.

Budaya kesetaraan gender diyakini dapat mencegah kekerasan seksual terhadap anak, karena kekerasan tersebut terjadi akibat pola relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban.

ECPAT (Ending Child Prostitution in Crime in Asia) menyatakan bahwa kekerasan seksual dilakukan oleh orang dewasa terhadap seorang anak, seperti saudara kandung, orang asing atau orang tua, dimana anak tersebut harus memenuhi kebutuhan seksual pelakunya Kekerasan seksual terhadap anak dilakukan melalui pemaksaan, pengancaman, penyuapan dan penipuan yang dilakukan oleh pelaku kekerasan.

Selain itu, budaya kesetaraan gender juga mendorong keluarga dan masyarakat untuk tidak memberikan toleransi terhadap kekerasan seksual pada anak. Sehingga pihak keluarga tidak lagi memandangnya sebagai aib yang harus ditutupi seperti api dalam cangkang sehingga mengakibatkan kekerasan terus menerus. Keluarga dan masyarakat akan memandang kasus kekerasan seksual pada anak sebagai permasalahan serius yang harus ditangani secara psikologis, sosial dan hukum.

Setelah memasuki bidang hukum, tugas penegakan hukum diharapkan bisa maksimal. Yaitu melakukan proses penyidikan dan persidangan yang memperhatikan kebutuhan korban, agar merasa terlindungi dari segala ancaman psikologis dan sosial. Selain itu, keyakinan masyarakat bahwa hukuman maksimal akan diterapkan pada kasus kekerasan seksual terhadap anak juga penting.

Memang, kerja sama semua pihak sangat diperlukan dalam implementasi UU TPKS. Pemerintah, keluarga, sekolah, pesantren, lembaga keagamaan, dan organisasi kemasyarakatan perlu bekerja sama untuk mensosialisasikan pentingnya kesetaraan gender dan melaksanakan UU TPKS. Kolaborasi ini akan mewujudkan pergeseran budaya secara besar-besaran.

Selain itu, kerja sama antara pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam penegakan hukum, termasuk kepolisian, kejaksaan, lembaga peradilan, dan pihak-pihak yang memberikan layanan dukungan terhadap korban kekerasan seksual terhadap anak, juga diharapkan dapat menunjukkan kepercayaan masyarakat terhadap keadilan bagi para korban sudah bisa Kekerasan seksual terhadap anak.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *