JAKARTA – Bank Dunia dalam East Asia and Pacific Economic Update edisi Oktober 2024 memproyeksikan perekonomian Indonesia akan tumbuh sebesar 5% pada tahun 2024 dan 5,1% pada tahun berikutnya. Sejumlah perkiraan pertumbuhan ekonomi menunjukkan bahwa Indonesia masih melampaui laju pertumbuhan Asia Pasifik. Pertumbuhan keseluruhan wilayah ini diperkirakan akan mencapai sekitar 4,8% pada tahun 2024 dan melambat menjadi 4,4% pada tahun 2025.
Sementara itu, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, pemerintah menetapkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 8%, target ambisius tersebut sejalan dengan visi pemerintah untuk mempercepat pembangunan infrastruktur, meningkatkan investasi, dan memajukan sektor-sektor strategis nasional. Namun, jika tidak didukung oleh regulasi dan tata kelola yang baik, upaya optimis Presiden Prabowo untuk mencapai target pertumbuhan 8% akan sulit tercapai.
Jika ditinjau kembali, prognosis situasi perekonomian Indonesia sama sekali tidak baik. Misalnya, sektor manufaktur yang padat energi menghadapi tekanan berat yang menyebabkan meningkatnya PHK. Pada semester 2024 saja, terdapat 32.064 pekerja yang diberhentikan, meningkat 21,45% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Sektor manufaktur yang paling terkena dampaknya adalah industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Dalam dua tahun terakhir, sebanyak 30 pabrik tekstil telah ditutup. Penutupan pabrik menyebabkan lebih dari 11.000.207 pekerja kehilangan pekerjaan. Pelemahan ini tentunya akan menjalar ke sektor lain seperti petrokimia sehingga berdampak pada turunnya permintaan bahan baku aromatik di industri tekstil.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiyono mengatakan lemahnya industri tekstil akan mempengaruhi kinerja industri petrokimia.
Sebab, industri petrokimia berperan penting dalam menunjang berbagai sektor, mulai dari plastik, tekstil, karet sintetis, kosmetik, bahan pembersih hingga obat-obatan. Apalagi senyawa aromatik kini banyak tercampur di industri tekstil, ujarnya. diskusi. bertajuk “Dukungan pemerintah baru untuk meningkatkan produksi petrokimia”, ditulis pada Rabu (27/11/2024).
Saat ini industri petrokimia diperkirakan mengalami penurunan tingkat utilisasi pabrik hingga 50 persen. Potensi investasi senilai Rp437 triliun di sektor petrokimia juga berisiko kolaps akibat gejolak pasar dalam negeri, selain tantangan normalisasi perekonomian nasional.
Meskipun ada impor, industri petrokimia yang sedang booming ini masih belum yakin dalam melakukan investasi karena ketidakpastian kebijakan. Terdapat beberapa kebijakan yang diharapkan dapat mendukung operasi tersebut, termasuk insentif harga gas alam dan insentif finansial tertentu dalam bentuk tax holiday, yang belum disetujui secara resmi.
“Situasi pengurangan dan ketidakpastian petrokimia berkurang karena pengurangan yang terjadi pada industri tekstil yang menyerap produk dari atas. Konsumsi industri tekstil saat ini berada di bawah 50% dan banyak yang sudah tutup. pabriknya terkonfirmasi, terkonfirmasi penerimaan PPN barang pada tahun 2023, dan tahun 2024 akan terjadi sedikit pelemahan rupiah,” ujarnya.
Di sisi lain, Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Plastik Hilir Indonesia (Aphindo), Henry Chevaller, meminta pemerintah memberikan keringanan pajak kepada industri petrkokia agar bahan baku hilirnya lebih terjangkau.
“Berikan pembebasan pajak kepada industri petrokimia agar kita bisa menyerap bahan baku yang murah dan menghasilkan produk plastik yang murah sehingga bisa bersaing dengan produk jadi yang masuk ke Indonesia,” kata Henry.
Sementara itu, Liaison Specialist BKPM Bidang Hilir Migas, Ikhsan Adhi Prabowo mengakui pentingnya peran industri petrokimia yang patut dipertahankan. Ia berharap semua kebijakan akan merangsang hadirnya investasi petrokimia baru.
“Petrokimia merupakan salah satu industri modal karena produknya menjadi alat bagi industri lain.
Kompetensi pemerintahan
Dalam kesempatan tersebut, Direktur Industri Kimia Hulu Kementerian Perindustrian Wiwik Pudjiastuti mengatakan pemerintah terus berupaya menyusun strategi agar situasi industri petrokimia tetap kondusif. Untuk memantau impor, misalnya, pemerintah saat ini sedang mematangkan alat ukur produksi.
“Dengan menggunakan neraca komoditas, kita selalu bisa melihat data supply dan demand. Kalau supply rendah, maka permintaan rendah, artinya masih ada peluang impor,” kata Wiwik.
Proses ini diperlukan karena petrokimia dan turunannya masih dikontrol ekspornya. Selain itu, industri petrokimia dalam negeri sedang berjuang untuk memperkuat rantai pasokannya. Berdasarkan catatan Kementerian Perindustrian, petrokimia termasuk olefin memiliki kapasitas produksi sebesar 9,72 juta ton, aromatik mencapai 4,61 juta ton, dan produk metanol C1 serta turunannya mencapai 980.000 ton.
“Untuk memperkuat struktur industri, salah satu yang perlu dilakukan adalah menghubungkan industri hulu dan hilir,” ujarnya.
Selain itu, Wiwik melihat ada rencana proyek di industri kimia dengan investasi hingga USD 34 miliar pada tahun 2030. Dalam waktu dekat, investasi dari PT Lotte Chemical Indonesia atau Lotte dan Petrokimia Gresik bisa beroperasi pada tahun 2025.
Harapannya, dengan kinerja Lotte di tahun 2025, sebagian kebutuhan petrokimia, khususnya polipropilena [PP] yang pasokannya masih jauh tertinggal dari permintaan, mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri yang masih dipenuhi produk impor, ”ujarnya. . dikatakan.
Lebih lanjut, Wiwik mengatakan pemerintah telah mencoba mengajukan usulan pembebasan bea masuk bahan baku petrokimia, khususnya LPG, yang dikenakan tarif sebesar 5%.
Di sisi lain, kelompoknya juga sedang membuat peta jalan industri kimia dasar dengan melakukan stabilisasi dan formulasi kayu berbasis minyak, gas, dan batu bara. Tak hanya itu, untuk memfasilitasi industri kimia, pemerintah memberikan insentif finansial berupa tax holiday sederhana, insentif pajak dan tax holiday kecil serta perpanjangan masa pengajuan PPN.
Menurut Kementerian Perindustrian, Kepala Bagian Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Susila Brata juga mengatakan pihaknya telah menerapkan berbagai regulasi untuk melindungi industri Indonesia, termasuk industri hulu dan hilir petrokimia. Susila mengatakan, saat ini pemerintah sudah meresepkan obat komersial.
“Reformasi perdagangan merupakan alat yang dapat digunakan oleh negara-negara anggota WTO untuk mengendalikan impor guna melindungi produsen dalam negeri dari dampak negatif perdagangan bebas,” ujarnya.