JAKARTA – Jasmerah (Jangan lupa tanggalnya). Inilah sejarah, latar belakang dan kronologi tragedi wabah G30S/PKI. Peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI) menjadi titik gelap dalam sejarah politik Indonesia sebagai sebuah bangsa.
Peristiwa yang menewaskan sejumlah pahlawan revolusi ini akhirnya menginspirasi lahirnya Hari Santo Pacasila yang jatuh pada tanggal 1 Oktober. Artikel ini akan mengupas sejarah, latar belakang, dan kronologi G30S/PKI, Simak!
Sejarah G30S PKI
Merujuk pada Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1975 (Keppres), G30S PKI adalah peristiwa makar/pemberontakan terhadap Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 30 September 1965 yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan/atau pendukungnya. tindakan/kegiatan persiapan serta tindakan lanjutan.
Gerakan G30S/PKI yang dipimpin Dipa Nusantara (DN) Aidit terjadi di Jakarta dan Yogyakarta dan melibatkan pasukan Tjarabirawa di bawah kendali Letkol Untung Syamsuri.
Gerakan ini awalnya bertujuan untuk menculik para perwira tinggi dan Dewan Umum dan membawa mereka ke Lubang Bua. Namun saat eksekusi, tiga orang langsung tewas di tempat.
Korban G30S PKI adalah Letjen Ahmed Yani (Menteri/Panglima/Panglima), Mayjen R Soeprapto (Wakil/Panglima), Mayjen Mas Tirtodarmo Harjono (Panglima III), Mayjen S Parman (Asisten Menteri/Panglima), Brigjen DI Pancaitan (Wakil Menteri/Panglima VI) dan Brigjen Soetojo Siswomihardjo (AD) Inspektur Kehakiman).
Dalam kejadian tersebut, Jenderal AH Nasution (Menhankam) berhasil lolos dari upaya penculikan. Namun putrinya yang berusia 5 tahun, Ade Irma Suryani, dan asistennya, Lettu Piere Andreas Tendean, tewas dalam kejadian tersebut. Gerakan ini juga menyebar di Yogyakarta. Kolonel Katamso dan Letkol Sugiono dibunuh karena tidak mendukung gerakan ini.
Latar belakang G30S PKI
PKI menjadi partai besar dan mempunyai pengaruh yang cukup kuat dalam perpolitikan Indonesia. Menurut buku Komunisme dan Pembangunan Ekonomi karya Roger W Benjamin dan John H Kautsky (1968), pada tahun 1965 PKI mempunyai 3 juta anggota.
PKI juga mempunyai sejumlah suborganisasi, seperti Gerakan Perempuan Indonesia (Gerwani), Pemuda Rakjat, Organisasi Buruh Indonesia Pusat, Barisan Tani Indonesia, Ikatan Cendekiawan Indonesia, dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
Secara keseluruhan, anggotanya merupakan seperlima dari total penduduk Indonesia pada saat itu. Penyebab terjadinya peristiwa G30S PKI adalah persaingan politik antara PKI dan TNI.
Sebagai kekuatan politik, PKI prihatin dengan memburuknya kesehatan Presiden Soekarno. Saat itu, PKI diberi tempat di pemerintahan Soekarno. Sukarno menerima dan melaksanakan sejumlah usulannya.
Misalnya saja mengenai pembentukan Angkatan Kelima yang terjadi saat itu, seperti Dwikora yang menjadikan buruh dan tani menjadi kekuatan militer untuk mendukung operasi militer. Juga terkait tumbangnya Partai Masyumi yang bertanggung jawab atas peristiwa PRRI/Persemesta.
TNI selaku kekuatan militer Indonesia di bawah komando Jenderal AH Nasution sebenarnya tidak setuju dengan usulan Angkatan Kelima tersebut. TNI khawatir PKI akan menyalahgunakan penggunaan senjata oleh buruh dan tani untuk melakukan pemberontakan.
Apalagi saat itu beredar kabar PKI sedang menyusun rencana kudeta. Pada awal Agustus 1965, Presiden Sukarno tiba-tiba pingsan setelah berpidato.
Banyak yang meyakini usianya tidak akan lama lagi, sehingga pertanyaan besarnya adalah siapa yang akan menggantikan Presiden Sukarno? Persoalan ini menimbulkan persaingan yang semakin sengit antara PKI dan TNI.
Kronologi G30S PKI dikutip dari Sejarah Indonesia Modern (MC Ricklefs, 2004) Pada tanggal 27 September 1965, Panglima TNI Angkatan Darat (Pangad) Letjen TNI Ahmad Yani menyatakan bahwa TNI AD menentang pembentukan Angkatan Kelima.
Tiga hari kemudian, tepatnya malam 30 September, satu batalyon pengawal istana dipimpin Letkol Untung Syamsuri, satu batalyon Divisi Diponegoro, satu batalyon Divisi Brawijaya, dan warga sipil dari Pemuda Rakjat Halim Perdanakusuma Air Pangkalan berangkat.
Mereka ditugaskan untuk menculik para petugas dan Dewan Umum. Pasukan bergerak mulai pukul 03.00 WIB. Enam jenderal diculik, dua tewas di tempat, dan sisanya dibawa ke Pondok Gede, Lubang Buaya, Jakarta Timur, di mana mereka meninggal karena penyiksaan.
Korban pembunuhan tersebut adalah Letjen Ahmed Yani, Mayjen S Parman, Mayjen R Soeprapto, Brigjen DI Pancaitan, Mayjen MT Harjono, dan Brigjen Soetojo Siswomihardjo.
Mayat mereka ditemukan beberapa hari kemudian. Salah satu jenderal yang selamat dari penculikan ini, yakni Jenderal AH Nasution. Namun putrinya, Ade Irma Suryani dan asistennya, Lettu Piere Tandean menjadi korban. Korban lainnya, Brigjen KS Tubun, tewas saat menjaga rumah Dr J Leiman.
Gerakan ini juga menyebar ke Yogyakarta. Kolonel Katamso dan Letkol Sugiono G30S dibunuh karena tidak mendukung gerakan PKI. Setelah berhasil menculik dan membunuh petinggi TNI AD, PKI menguasai gedung Radio Republik Indonesia (RRI).
PKI mengeluarkan ketetapan yang disebut Ketetapan Nomor 1 yang menyatakan bahwa gerakan G30S merupakan upaya penyelamatan negara dari Majelis Umum yang ingin mengambil alih negara.
Merujuk pada buku Penghancuran Kelompok Komunis di Indonesia (Abdul Syukur, 2008), keesokan harinya para petinggi militer mengumpulkan pimpinan semua partai politik, namun PKI dan Parkindo tidak ada.
Para pemimpin partai diminta untuk memutuskan apakah akan mendukung tentara atau komunisme. Belakangan, pimpinan partai dan ormas memberikan kuliah terbuka di Taman Sunda Kelapa.
Di akhir kegiatan, mereka membacakan pernyataan bersama yang mengecam kudeta 30 September yang menewaskan 6 jenderal.
Pernyataan tersebut menegaskan dengan tegas bahwa PKI berada di balik kudeta tersebut, sehingga PKI dan ormasnya harus dibubarkan. Akhirnya pada tanggal 12 Maret 1966, PKI resmi dibubarkan oleh pemerintah.