Harrianto Ariodiguno, Ph.D
Pada tanggal 20 Oktober 2024, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakhiri masa kepresidenannya yang kontroversial, dihormati oleh sebagian orang, dihormati oleh orang lain, namun juga dihadapkan pada kebencian dan cemoohan, terutama di akhir masa jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Terlepas dari semua ini, ia tetap teguh sebagai “pemimpin” sejak transisi negara menuju demokrasi pada tahun 1998.
Selama sepuluh tahun kepemimpinannya, Jokowi mengubah Indonesia menjadi kekuatan ekonomi dengan meningkatkan investasi asing dan memperluas infrastruktur. Selain prestasi dalam negerinya yang luar biasa, ia juga mengubah lanskap politik luar negeri Indonesia melalui pendekatan pragmatis yang memanfaatkan peluang yang diberikan berbagai kekuatan dunia.
Untuk memahami pendekatan diplomasi Jokowi, teori realis memberikan kerangka kerja yang ideal. Dalam arti realistis, negara bertindak di arena internasional berdasarkan kepentingan nasionalnya, dengan penekanan pada kekuasaan dan keamanan. Dalam lingkungan internasional yang anarkis, dimana tidak ada otoritas tertinggi yang mengatur perilaku negara, setiap negara harus bertahan dan memaksimalkan keuntungannya dalam persaingan antar negara.
Jokowi memahami betul dinamika ini. Alih-alih menganut ideologi kaku atau retorika moral, ia menjalankan kebijakan luar negeri Indonesia dengan penekanan pada perjanjian praktis dan kepentingan ekonomi nasional. Walaupun para pemimpin lain mungkin tergoda untuk memihak persaingan global antara Amerika Serikat dan Tiongkok, Jokowi telah menegaskan penolakannya untuk memilih salah satu opsi tersebut. Ia menolak logika zero-sum dalam kebijakan luar negeri, yang sering dianggap perlu oleh realisme tradisional dalam konteks persaingan memperebutkan kekuasaan.
Salah satu contoh paling jelas dari pendekatan realistis Jokowi adalah bagaimana ia berhasil menjaga keseimbangan antara membangun kemitraan ekonomi yang penting dengan Tiongkok dan menjaga hubungan baik dengan Amerika Serikat dan sekutu Barat lainnya. Jokowi memahami bahwa ketergantungan ekonomi dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap diplomasi, namun ia juga sangat peduli untuk menjaga kebebasan bertindak Indonesia di kancah internasional. Hal ini mencerminkan prinsip realisme, dimana negara harus selalu menjaga otonomi dan kemampuan beradaptasi dalam menghadapi tekanan kekuatan global.
Menurut teori realisme, keputusan politik luar negeri yang diambil Jokowi dapat dilihat sebagai upaya menjaga keseimbangan kekuatan di kawasan Asia Tenggara. Melalui kerja sama dengan Tiongkok dalam proyek infrastruktur seperti kereta api berkecepatan tinggi, Jokowi tidak hanya meningkatkan daya saing perekonomian Indonesia, tetapi juga memperkuat posisi negosiasi dengan kekuatan dunia lainnya. Pada saat yang sama, dengan menjaga hubungan baik dengan Barat dan negara lain, Indonesia terhindar dari isolasi dan tetap berperan penting dalam diplomasi multilateral.
Jokowi menggunakan diplomasi tidak hanya sebagai alat untuk memperkuat posisi Indonesia di dunia, tetapi juga sebagai alat untuk mencapai tujuan dalam negeri. Dalam konteks realis, politik luar negeri bukanlah tentang menyebarkan ideologi atau memperjuangkan nilai-nilai universal, melainkan tentang memaksimalkan kepentingan nasional. Di sini, Jokowi menolak pandangan tradisional Indonesia yang lebih filosofis mengenai “bebas dan aktif” dan menggantinya dengan pendekatan yang lebih transaksional: berteman dengan negara-negara yang menawarkan manfaat ekonomi nyata.
Dengan menerapkan strategi yang realistis dan pragmatis tersebut, Jokowi telah menempatkan Indonesia pada posisi geopolitik dan ekonomi yang lebih kuat. Kepemimpinannya menunjukkan bahwa dalam dunia yang semakin kompetitif, negara-negara tidak dapat mengandalkan loyalitas ideologis atau hubungan diplomatik jangka panjang. Sebaliknya, mereka harus mampu bergerak cepat dan memanfaatkan peluang yang ada, tanpa terikat pada blok kekuasaan tertentu.
Dari segi realisme, Jokowi juga berhasil meramalkan tantangan ke depan, terutama ketika dunia sedang mengalami pergeseran ke arah nasionalisme ekonomi dan proteksionisme. Kebijakan luar negeri Indonesia yang menitikberatkan pada kepentingan ekonomi dan material sangat erat kaitannya dengan teori realis yang menekankan bahwa keamanan dan kesejahteraan suatu negara bergantung pada kekuatan ekonomi dan kekuatan yang dapat ditunjukkannya. Dalam jangka panjang, kebijakan tersebut mungkin menghadapi risiko tertentu, terutama terkait ketergantungan ekonomi pada Tiongkok, namun Jokowi telah berhasil mengelola risiko tersebut dengan menjaga hubungan baik dengan negara-negara besar lainnya.
Kesimpulannya, pendekatan politik luar negeri yang dilakukan Jokowi dapat dipahami sebagai penerapan teori realisme di dunia nyata. Dalam sistem internasional yang penuh ketidakpastian, ia menempatkan kepentingan nasional di atas segalanya, dan dengan caranya sendiri ia menunjukkan kepada Jokowi bahwa Indonesia dapat memainkan peran penting tanpa harus tunduk pada salah satu kekuatan besar dunia. Kepemimpinannya mencerminkan kemampuan beradaptasi terhadap dinamika global yang terus berubah dengan tetap menjaga kemandirian dan kesejahteraan bangsa.