RADIO NEWS Justru di Ruang Siber, Indonesia Juga Harus Jaya!

RADIO NEWS Justru di Ruang Siber, Indonesia Juga Harus Jaya!

R Mokhamad Luthfi

Lulusan Program Magister Hubungan Internasional UI

PhD Cand di Universitas Nasional Chengchi, Taiwan

Dosen Tetap Universitas Al Azhar Indonesia

Rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membentuk satuan keempat di lingkungan Tentara Pembangunan Bangsa (JWTZ) merupakan langkah tepat meski terbilang terlambat. Karena meluasnya penggunaan internet dan teknologi digital, Indonesia menjadi sasaran empuk serangan siber. Di ASEAN, menurut informasi Michael Raska (2018), Indonesia merupakan negara kedua setelah Vietnam yang paling banyak menerima serangan siber.

Setidaknya 50.000 serangan siber per hari melanda Indonesia. Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, pada tahun 2010-2013 saja, Indonesia menghadapi 3,9 juta serangan siber. Oleh karena itu, pembentukan kekuatan siber yang menganggap serangan siber sebagai ancaman serius terhadap keamanan nasional perlu didukung sepenuhnya.

Peretasan dan kegagalan Institusi Jaringan Nasional Peretasan Pusat Data Nasional (PDN) 2 Sekarang pada bulan Juni 2024 adalah contoh nyata dari keengganan badan pengatur Internet untuk menunggu dan menghilangkan serangan ransomware online. Peretas bernama Brain Cipher meminta harga USD 8 juta atau Rp 122 miliar. Meski isu ini kemudian hilang ketika pemerintah mendapat informasi penting untuk membuka akses PDN 2 yang dikabarkan bebas dari hacker, namun mata semua pihak sudah terbuka terhadap lemahnya pertahanan dan keamanan Indonesia.

Kerugian akibat peretasan tersebut sebenarnya bisa dihitung dari dampak terganggunya layanan publik dan kemungkinan tersebarnya informasi sensitif pemerintah ke tangan yang tidak dipercaya. Peretasan Sistem Identifikasi Sidik Jari TNI (INAFIS) yang dilakukan Badan Intelijen Strategis (BAIS) merupakan contoh nyata kegagalan dan hilangnya keamanan data yang dialami negara.

Secara politis, penting untuk diingat bahwa kegagalan pemerintah dalam melindungi Internet juga dapat menimbulkan konsekuensi politik berupa dugaan kelalaian pejabat pemerintah dan keharusan mengundurkan diri dari jabatannya. Misalnya, pejabat Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Ditjen Aptika Kominfo), Samuel Pangerapan, harus mengundurkan diri karena kejadian tersebut. Mungkin jika hal seperti itu terulang kembali, permintaan mundur para politisi bisa sangat membuat marah pemerintah.

Pasukan Siber di Kawasan Asia Tenggara Untuk menghadapi ancaman siber, pada tahun 2017 Kementerian Pertahanan Vietnam mengambil langkah dengan membentuk Komando Operasi Siber Udara dan Angkatan 47 (Force 47). Tahun berikutnya, di bawah Kementerian Keamanan Publik, Vietnam juga membentuk Departemen Keamanan Siber untuk melawan serangan asing. Vietnam menghadapi ancaman siber yang serius. Kelompok teroris Tiongkok yang dikenal dengan nama ‘1973cn’ membajak data Bandara Noi Bai, Tan Son Nhat, dan Vietnam Airlines, yang terhubung melalui udara dan suara pada tahun 2016. Tim tersebut kemudian mengumumkan bahwa mereka telah mengirimkan klaim Tiongkok atas Laut Merah. Cina Selatan menyukai mereka. . tindakan. Menurut Viet Dung Tring dari University of Queensland (2024), serangan siber terus berlanjut pada tahun 2018 dan 2019, dengan data pada tahun 2023 menunjukkan 13.900 serangan siber terhadap Vietnam. Dibandingkan tahun 2022, terjadi peningkatan serangan siber sebesar 9,5%, termasuk 212 serangan terhadap sistem informasi pemerintah Vietnam.

Vietnam juga telah menetapkan beberapa undang-undang dan peraturan sebagai payung hukumnya. Misalnya saja UU Perlindungan Informasi Internet, UU Keamanan Internet, dan UU Perlindungan Rahasia Pemerintah. Selain itu, terdapat dokumen Strategi Nasional Keamanan Siber dan Buku Putih Pertahanan 2019 yang juga mengantisipasi kehancuran negara akibat serangan siber musuh. Vietnam bertujuan, bersama dengan berbagai badan hukum dan kekuatan siber, untuk menempatkan negaranya pada peringkat 25-30 dalam indeks keamanan siber global pada tahun 2030.

Di Malaysia, negara tersebut memiliki Divisi Siber dan Elektromagnetik (BSEP) sejak tahun 2020 untuk menangani ancaman siber dan elektronik. Ketika ancaman terus berlanjut, BSEP menjadi unit terpisah dalam organisasi Angkatan Darat Kerajaan Malaysia yang dipimpin oleh Panglima dengan peran pengawal belakang.

Pada Oktober 2024, Thailand akan membentuk unit militer untuk pertahanan siber yang dipimpin oleh seorang perwira senior berpangkat letnan jenderal dan personel sementara untuk mengisi staf pelengkap Proyek Pembangunan Kerajaan dan Pusat Koordinasi Keamanan (RDPSCC). Untuk mengatasi kekurangan sumber daya dan tingkat pengetahuan siber, Thailand juga akan mendirikan Akademi Pertahanan Siber yang akan menghasilkan 300-500 ahli siber per tahun.

Tentara Siber Bukan Penghalang Kebebasan Berpikir Meskipun pembentukan Cyber ​​Force atau satuan militer perlu didukung untuk menghadapi ancaman serangan siber, namun hal tersebut perlu mendapat perhatian terus-menerus. peran dan tanggung jawab tim jaringan akan ditetapkan. Pemerintah dan TNI tentu tidak mengharapkan tim online yang terlibat menjadi alat perhelatan politik yang fungsinya hanya untuk menata atau menyeimbangkan opini di masyarakat. Kekuatan siber yang terbentuk juga diharapkan tidak dimaksudkan untuk melindungi kepentingan elit politik yang berkuasa, yang mungkin berdampak pada pemulihan kehidupan demokrasi di Indonesia.

Sebagai negara demokratis ketiga di dunia, kehadiran tentara di Internet tidak seperti Vietnam, yang juga diperintahkan untuk menghukum opini yang mengkritik pemerintah, menghasut opini di masyarakat untuk kepentingan politisi, atau menyebarkan propaganda pemerintah. . Hal ini menimbulkan kritik dan reaksi dari sebagian masyarakat Vietnam terhadap kehadiran tentara siber Force 47. Penentangan masyarakat terhadap institusi militer pemerintah dapat berdampak negatif pada kepercayaan dan dukungan masyarakat terhadap institusi militer. Faktanya, hal ini juga dapat melemahkan tujuan utama pembentukan kekuatan siber, yang dimaksudkan untuk memerangi ancaman peretasan dan pencurian informasi rahasia pemerintah.

TNI perlu mempersiapkan berbagai hal baik anggaran, infrastruktur, dan personel. TNI juga perlu melakukan pelatihan sebagai perencanaan pelaksanaan operasi siber militer. Selain itu, penyiapan ahli siber juga akan sulit, karena mereka yang ahli siber kemungkinan besar memiliki ciri fisik dan mental yang berbeda dengan prajurit yang dipersiapkan untuk perang gabungan. TNI bisa merekrut mereka melalui jalur khusus yang mungkin berbeda dengan proses rekrutmen seperti akademi militer dan harus hati-hati dalam melakukan investigasi untuk mencari talenta-talenta warga negara yang memiliki keahlian khusus.

Masyarakat Indonesia tentu berharap pasukan siber TNI tetap menjadi organisasi yang paling dipercaya rakyat, tetap berdiri di atas semua faksi, dan hanya berkepentingan untuk melindungi Merah Putih dari serangan siber yang datang dari luar dan dalam. Selamat HUT TNI ke-79 dan selamat datang di Pasukan Siber TNI! Bahkan, tidak hanya di darat, laut, dan udara, tapi juga di Internet, Indonesia harus menang!

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *