SEMARANG – Tiga dokter yang diduga melakukan pemerasan dan intimidasi hingga berujung meninggalnya dr Auliya Risma Lestari, mahasiswa Program Pendidikan Spesialis Anestesiologi (PPDS) FC Universitas Diponegoro (Undip), didesak untuk mengeluarkan izin kerja. ditarik.
Tekanan tersebut dilakukan oleh keluarga mendiang Dr. Auli’i Risma Lestari. Mereka juga meminta segera ditangkapnya tiga orang dokter yang dicurigai.
Ketiga terdakwa adalah Dr. TEN (Tawfik Eko Nugroho) yang merupakan ketua program pelatihan anestesi PPDS, F.K. Tidak berdasar, S.M. (Dr. Shri Maryani) yang merupakan Kepala Bagian Pendidikan Kedokteran Program Pelatihan Anestesiologi PPDS Undip dan Sr. Korban. dengan inisial Zr.
Tersangka Zr dinilai paling aktif melakukan intimidasi, pemerasan, penghinaan, pembuatan aturan dan keyakinan terhadap korban.
Kuasa hukum keluarga Dr Auli’i Risma Lestari Misyal Ahmad mengatakan, permintaan pencabutan izin kerja ketiga dokter tersebut berdasarkan kode etik profesi dokter.
Saya berharap dan berjuang agar dokter yang dicurigai ini tidak bisa lagi menjadi dokter. Saya akan berjuang agar izinnya dicabut semua. Dia tidak boleh (praktik) karena menurut saya dia sakit jiwa, Misyal tegasnya, dikutip Kamis (26/12/2024).
Ia pun meminta ketiganya tidak kembali bersekolah. Persoalan ini disebabkan karena dua orang terdakwa merupakan profesor kedokteran.
“Semuanya (mengajar atau berlatih). Praktek saja, apalagi mengajar. Saya akan perjuangkan,” ujarnya.
Di sisi lain, ada desakan untuk menangkap ketiga terdakwa karena mereka dijerat Pasal 368 ayat (1) KUHP dengan ancaman hukuman 9 tahun penjara. Selain itu, para tersangka juga tidak kehilangan bukti lain, termasuk pengulangan perbuatannya.
“Yang jelas kita berharap tersangka ini ditangkap. Kalau ancamannya 5 tahun atau lebih bisa ditahan, dan bisa ditahan, kalaupun hukumannya kurang dari 5 tahun, penyidik juga punya kuasa. untuk menangkapnya. “Tetapi kami berhak mengajukan permohonan pidana penjara karena ini merupakan tindak pidana (tersangka) khawatir dengan hilangnya barang bukti, mengingat prosedurnya terlalu lama dan (ada ketakutan) lagi. akan dikembalikan.” Kata Misyal. .
Ia mengaku prihatin dengan tindakan yang dilakukan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Dr M. Adib Humaidi dan mengaku langsung menyikapinya dengan menyiapkan pengacara untuk mendampingi para tersangka.
“Kenapa waktu itu pengacaranya tidak bersiap untuk berangkat bersama korban? Bukan saya yang mendampingi, tapi IDI lho, dia sedang menyiapkan pengacara. Kenapa dia (Dr. Adib) memilih pelakunya, bukan pelakunya. korban? Ini aneh!” – Missyal menekankan.
Ia sangat berterima kasih atas penyidikan yang dilakukan Polda Jateng yang mampu mengusut kasus pemerasan dan pelanggaran yang menyebabkan kematian tersebut.
Menurutnya, mengusut kasus ini tidak mudah mengingat korban sudah meninggal dunia. Dalam kasus perundungan ini, kata dia, yang menjadi korban adalah pelapor. Makanya mereka melaporkan ketidakjelasan tersebut karena pihak keluarga bisa melaporkannya.
Makanya saya minta Kemenkes bersiap menghadapi saudara-saudara kita yang tidak berani melapor (karena) ditekan oleh orang-orang tersebut, ujarnya.
Diketahui, korban ditemukan tewas pada 12 Agustus 2024 pukul 23.00 WIB di kediamannya di Lempongsari, Semarang.
Polisi menemukan beberapa petunjuk di TKP, antara lain; obat kuat yang diberikan sendiri oleh korban, 3 bekas jarum suntik di punggung tangan, banyak catatan terkait apa yang dialaminya selama kuliah PPDS Anestesi FK Undip.
Polisi menyimpulkan korban meninggal karena bunuh diri. Namun, selama pemeriksaan anestesi PPDS, korban terus menerus mendapat intimidasi dan pemerasan ekstrem.