Boyolali – Dakuh no. Warga Agung, Desa Sarimulyo, Kecamatan Kemusu, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, perlahan berupaya mengatasi permasalahan kemiskinan yang sudah berlangsung lama.
Mereka berupaya meningkatkan taraf hidupnya dengan mengembangkan produk olahan ikan dari Waduk Kedung Ombo (WKO) dan mendirikan bengkel penangkapan ikan.
Puluhan tahun lalu, masyarakat Dusun Sambar Agung berprofesi sebagai nelayan di WKO. Pendapatan mereka sangat terbatas karena harga jual ikan hasil tangkapan mereka sangat murah.
Para pria membuat perahu fiberglass di bengkel penangkapan ikan di Dukuh Sambar Agung, Desa Sarimulyo, Kecamatan Kemusu, Boyolali, Jawa Tengah. Foto/Ari Vahyu Vibowo
Ikan petak dan ikan lonjar yang biasa didapat nelayan hanya dibeli oleh tengkulak dengan harga Rp 2.000 per kilogram. Harga jualnya sangat murah dan tidak sepadan dengan usaha yang dikeluarkan.
Keadaan diperburuk dengan terkurasnya waduk-waduk di Kabupaten Boyolali, Kabupaten Saragen, dan Kabupaten Grobogan. Ia mulai menjadi petani musiman dengan menanam jagung untuk mata pencahariannya.
Rata-rata warga Dusun Sumber Agung berprofesi sebagai nelayan. Jumlahnya sekitar 100 orang dan seluruh suami istri berprofesi sebagai nelayan.
Perempuan-perempuan Dusun Sumber Agung sedang berusaha bangkit dari depresi ekonomi. Awalnya, warga mengajukan proposal ke PT Pertamina Patra Nyaga Regional Center Java (JBT). Tak butuh waktu lama, usulan tersebut disetujui dan membantu warga membuat produk olahan dari ikan hasil tangkapan pada tahun 2022.
Ia mendirikan Jawak Group (Jajanan Kedung Ombo Iwak). Berbagai peralatan disediakan antara lain pengasap, kompor, panci, spinner, timbangan, perajang, dan baskom.
“Juga ada dukungan permodalan, intinya dukungan dari awal,” kata Mariani, bendahara Javac Group.
Ikan tangkapan diolah menjadi petek renyah, bakso petek goreng (bapareng), dan lonjar renyah. Petek Crispy dijual Rp 75.000 per kg, Bapareng Rp 60.000 per kg, dan Lonjar Crispy 120.000 per kg.
Selain itu mereka juga membuat Keripik Udang dengan harga Rp 125.000 per kg. Namun udang crispy tidak diproduksi setiap hari karena hanya bersifat musiman.
“Kalau musim panas, patek renyah dibuat kerupuk, tapi kalau musim hujan kerupuk tidak dibuat. Produk yang ada saat ini semua rasa original,” ujarnya.
Dalam sehari, nelayan maksimal mendapat bahan baku ikan 10 kg. Kadang-kadang Anda bahkan tidak mendapatkan satu hari pun karena cuaca yang tidak mendukung. Untuk melanjutkan produksi, ikan lonjar hasil tangkapan disimpan terlebih dahulu. Namun ikan petek tidak bisa disimpan karena harus segar saat diolah.
Untuk dijual, saat ini sebagian besar disimpan di kios. Sementara penjualan online tidak naik. Produk yang dihasilkan tahan hingga 3 bulan. Harga jualnya bervariasi mulai dari Rp3.000, Rp5.000, Rp7.000, dan Rp10.000 per bungkus.
Omset bulanannya saat ini hanya Rp 3 juta yang dibagikan kepada 10 anggota kelompok. Kendala yang dihadapi antara lain kesulitan bahan baku dan pemasaran. Bahan baku sangat bergantung pada hasil tangkapan nelayan. Karena ikan jenis ini tidak bisa dibudidayakan. Sedangkan untuk pemasaran, permasalahannya adalah belum mampu menjangkau pasar yang lebih luas.
Dari proses yang berjalan, produk Javak Group telah mendapatkan Izin Produksi Industri Pangan Dalam Negeri (PIRT) pada tahun 2023. Oleh karena itu memenuhi standar kesehatan dan keselamatan. Dengan bantuan Pertamina, pengemasan produk kini menjadi lebih baik. Berbeda dengan sebelumnya yang menggunakan tas.
Mengubah kebiasaan masyarakat yang menjual ikan hasil tangkapan langsung pada awalnya tidaklah mudah. Sebab saat itu masyarakat menganggap bekerja sebagai nelayan tidak langsung mendatangkan penghasilan. 50.000 untuk bahan bakar minyak (BBM), makanan, dan rokok, sedangkan nelayan mengeluarkan uang sebesar Rs 50.000 di waduk untuk mencari ikan.
Nelayan laki-laki biasanya bekerja pada malam hari. Sedangkan perempuan nelayan bekerja pada siang hari. Sehingga mereka tidak punya waktu untuk mengolah ikan yang ditangkap. Sekitar 25 perempuan nelayan telah bergabung dengan kelompok Javak setelah beberapa kali dilatih.
Pelatihan yang diterima perempuan nelayan antara lain pengolahan ikan dan pengasapan ikan. Batu sandungan yang ditemui dalam pemberian nasihat adalah pandangan bahwa ikan olahan pun bisa dijual dengan harga yang lebih masuk akal.
“Kami akan mengundang mereka untuk berdiskusi pada tahun 2021 dan produksi serta penjualan akan dimulai pada Agustus 2022. Dan pada tahun 2023, produk tersebut akan dikirim dan dijual kepada pekerja migran luar negeri seperti Hong Kong dan Taiwan. “Mereka rutin mengirimnya ke luar negeri,” kata Akbar Alfiansyah, Community Development, Fuel Terminal Boyolali, PT Pertamina Patra Nyaga.
Untuk menambah kapasitas produksi, Pertamina membeli lemari es untuk stok karena tidak ada ikan yang ditangkap saat musim kemarau. Saat musim hujan, nelayan bisa menyimpan hasil tangkapannya di lemari es. Selain itu, para nelayan juga membangun kolam ikan lele. Karena mereka juga dilatih membuat kerupuk krispi dan lele. Produk ini bisa menjadi pilihan saat memancing di waduk.
Selain mengembangkan produk olahan ikan yang dibuat oleh perempuan, laki-laki di daerah juga tidak mau ketinggalan. Ia membangun kembali bengkel penangkapan ikan yang sudah lama kosong. Pada tahun 2023 berdirilah bengkel penangkapan ikan dan rumah usaha Kelompok Nelayan Sambar Agung.
“Usahanya memang sudah lama berjalan, namun terkendala sarana dan prasarana. Tutup saat pandemi Covid-19,” kata Dariono, Ketua Kelompok Nelayan Sambar Agung.
Nelayan disuruh menyiapkan alat tangkap. Selain itu juga disediakan alat untuk membuat perahu nelayan. Ada 15 nelayan dalam kelompok tersebut. Masing-masing mempunyai fungsinya masing-masing, mulai dari bidang mesin, pembuatan perahu, hingga pembuatan peralatan memancing. Untuk pembuatan perahu nelayan biasanya bisa membuat 3 sampai 4 perahu dalam sebulan.
“Pesanan terbanyak adalah kapal baru. Jika sudah jadi dan bermesin diesel, harganya Rp 4 jutaan hingga Rp 5 jutaan. “Pesanan datang dari nelayan dari berbagai wilayah Waduk Kedung Ombo,” ujarnya.
Ia mengatakan, hanya lokakarya yang diselenggarakan sebelum mencari bantuan yang diadakan di sana-sini, dan tidak ada kemajuan yang terlihat. Setelah mendapat dukungan, lokakarya berjalan lambat. Pesanan pembangunan dan perbaikan kapal mengalir lancar.
“Saat memperbaiki perahu, biasanya kerusakannya disebabkan oleh terkelupasnya batu atau pohon. Sehingga perahu bocor,” ujarnya.
Perahu hasil karya nelayan ini terbuat dari bahan fiberglas dan mempunyai ketahanan 8-10 tahun. Sedangkan sebelum bantuan datang, bahan pembuatan perahu sudah datang dari kayu Muruku. Harga jualnya tanpa mesin diesel sekitar Rp 2 jutaan. Perahu terbuat dari kayu, baru dipakai 1 tahun.
Dibutuhkan waktu sekitar 2 hari untuk membuat perahu dengan menggunakan kayu. Proses produksi berdasarkan pesanan lama. Sebab, nelayan kesulitan mencari modal untuk mencari bahan baku.
Sedangkan pembuatan perahu fiberglas membutuhkan waktu maksimal 5 hari. Nelayan berani melakukannya terlebih dahulu tanpa ada perintah karena diberi modal berupa bahan oleh Pertamina. Jadi ketika ada yang membeli, barangnya sudah siap. Bahan fiberglass mempunyai kelebihan, jika batu ditekan hanya akan tergores dan tidak bocor.
Pembuatan kapal dilakukan saat dia WKO. Sekitar pukul 12.00 WIB. Dia kembali setelah menangkap ikan. Kemampuan membuat perahu antara lain otomatis diperoleh YouTube. Nelayan terus belajar dan hasilnya semakin baik seiring berjalannya waktu.
“Untuk mesin, ada bengkelnya. Pertamina juga menawarkan pelatihan workshop. Kerusakan mesin antara lain karburator dan busi kotor, ujarnya.
Pendapatan sebagai nelayan setiap bulannya tidak menentu. Saat musim hujan, nelayan rata-rata mendapat penghasilan Rp 100.000 per hari karena hasil tangkapannya banyak. Namun, para nelayan mereka tidak mendapatkan penghasilan karena air di waduk tersebut mengering saat kemarau panjang.
“Kadang-kadang saya berangkat dengan modal Rp 40.000 dan pulang tanpa membawa apa-apa,” ujarnya.
Uang untuk membeli bensin dan makanan karena nelayan harus naik sepeda motor menuju sungai yang mengalir ke waduk. Perjalanan memakan waktu sekitar 1 jam. Saat air surut, para nelayan beralih menjadi petani musiman dengan menanam jagung.
Lain halnya jika air di waduk meluap saat musim hujan. Karena tidak perlu pergi jauh untuk menangkap ikan, nelayan hidup dari bahan bakar minyak (BBM). Bahan bakar 1 liter bisa digunakan untuk dua hari.
Nelayan tidak perlu pergi jauh untuk melakukan perbaikan karena terdapat bengkel perahu. Sebelumnya, mesin dan perahu yang rusak harus dibawa ke bengkel tradisional yang memakan waktu sekitar 1 jam perjalanan.
Sekarang dia punya bengkel, dan dia bisa menggunakannya sendiri. Nelayan juga mendapat pesanan perahu dari nelayan lain. Jadi ini menjadi nilai tambah tersendiri.
“Bengkel penangkapan ikan ini dimulai pada tahun 2023, sekarang sudah berjalan satu tahun dan usahanya booming. “Diharapkan kedepannya bisa lebih menguntungkan dan nelayan bisa mandiri,” kata Kevin Kurnia Gumilong, Senior Supervisor CSR Pertamina Patra Nyaga, Jawa Tengah.
Pada tanggal 31 Agustus 2024 telah diresmikan Desa Meena Visata Sari Mulyo. Hal ini diharapkan dapat memberikan dampak positif dengan menarik wisatawan dalam waktu dekat.