JAKARTA – Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tengah mengkaji revisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Hal itu dilakukan dalam rangka harmonisasi undang-undang.
Munculnya undang-undang pertambangan dan batubara baru, undang-undang penciptaan lapangan kerja, dan undang-undang keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah mengharuskan adanya revisi undang-undang pemerintah daerah. Selain hadirnya undang-undang terkini yang menuntut perubahan undang-undang pemerintahan daerah, juga terdapat beberapa putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Halilul Khair, Ketua Fakultas Manajemen Ilmu Pemerintahan, Institut Ilmu Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), membahas kesenjangan antara undang-undang pemerintah daerah dengan ketiga undang-undang baru tersebut.
“Awal lahirnya undang-undang pemerintahan daerah adalah untuk mengontrol keberadaan daerah otonom. Artinya, pengakuan masyarakat lokal sebagai badan hukum publik untuk mengurus dan mengurusnya. Artinya, segala sesuatunya tidak diputuskan oleh pusat tetapi di pusat. oleh masyarakat di wilayah itu,” ujarnya, Sabtu (26/10/2024).
Menurut Halilul, undang-undang pemerintahan daerah mengatur tentang daerah otonom, pemerintahan daerahnya, dan kewenangan yang boleh dijalankannya serta pendanaan, kepegawaian, dan hubungan daerah.
“Sejak dilaksanakan pada tahun 2014, penerapannya sudah sangat baik. Pemerintahan daerah mempunyai hak kemandirian yang sangat baik dan melalui penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui pemerintah daerah dan DPRD, pekerjaan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan pemerintah daerah. Namun dalam beberapa hal ada hal-hal yang kurang memuaskan dan kurang, ujarnya.
Menurut Halilal, membahas undang-undang pemerintahan daerah sama dengan membahas dua pertiga urusan negara Indonesia, karena dua pertiganya berada di daerah, kabupaten, dan negara bagian. “Mereka sebenarnya adalah orang-orang yang memberikan pelayanan dasar, pelayanan kepada masyarakat,” kata Halilal.
Halilul mengatakan, pelayanan selama ini kurang baik, banyak jalan rusak, jumlah penduduk yang bersekolah di SD dan SMP masih kurang. Misalnya, tingkat partisipasi sekolah menengah atas secara keseluruhan hanya 62%. Setelah itu, pelayanan air bersih/minum hanya 76%-79%.
Banyak daerah yang masih bermasalah dengan kebijakan fiskalnya. Jangan lupa, kebijakan nasional ke arah yang lebih baik juga perlu ditinjau ulang. UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah perlu diubah karena bertentangan dengan UU Nomor 3 Tahun 2020, UU Nomor 6 Tahun 2023, dan UU Nomor 1 Tahun 2022.
3 Sedangkan hukum lebih mementingkan pembagian kekuasaan. Jadi ke 3 undang-undang tersebut memuat asas dasar pembatasan peraturan perundang-undangan daerah. Oleh karena itu, kewenangan daerah dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah sudah tidak sesuai lagi dengan ketiga undang-undang baru tersebut. Jadi itu perlu diperbaiki.
Namun selain 3 aturan tersebut, masih banyak hal lain yang perlu disesuaikan dengan hasil evaluasi. Misalnya kinerja pembangunan daerah yang berada di bawah level tertinggi harus melalui pokok bahasan pengelolaannya, bagaimana perkembangannya, dan bagaimana diskresi gubernur dalam bidang perekonomian daerah dapat dikurangi.
“Hukuman yang benar adalah pertentangan antara Undang-undang Pemerintahan Daerah Nomor 23 Tahun 2014 dengan 3 Undang-undang tersebut di atas, padahal dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa persoalan ini akan diserahkan kepada daerah, Undang-undang Nomor 3 Mineral dan Batubara. dan kata batubara. bahwa kewenangan tersebut akan dialihkan kepada pemerintah pusat “Demikian pula dalam UU Cipta Kerja, terdapat 13 perizinan yang ditempatkan di daerah dalam UU Pemda, namun dalam UU Cipta Kerja ditempatkan di bawah kewenangan pusat. pemerintah,” kata Halilal.
Halilul mengatakan, karena norma peraturan perundang-undangan pemerintah daerah sudah tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan lain, maka ada kemungkinan adanya hambatan kepentingan pribadi dalam memahami kewenangan tersebut.
“Kalau tidak diubah maka akan terjadi desinkronisasi. Nanti konsep Kementerian Pertambangan dan Batubara dipahami sebagai kewenangan pusat. Kemudian Pusat tidak bisa mengirimkan langsung ke daerah untuk pelaksanaannya.” Sekali lagi minta daerah untuk melaksanakannya,” ujarnya.
“Tapi nanti daerah bilang itu bukan hak kita lagi, lalu pusat bilang lagi, ya silakan, di daerah kita tidak punya lembaga untuk menjalankannya. , sangat tidak terkoordinasi karena kewenangannya dicabut demi undang-undang, kemudian kewenangan tersebut dicabut demi undang-undang. Karena perintah presiden tidak bisa mencabut undang-undang, lanjutnya.
Halilul mengatakan, tidak ada koordinasi antara apa yang ada dalam UU Minerba dengan pelaksanaannya di lapangan. Dalam implementasinya, tidak terdapat keselarasan nyata antara norma hukum dan implementasi di lapangan.