Kenaikan PPN Dinilai Berpotensi Picu Pengurangan Tenaga Kerja

Kenaikan PPN Dinilai Berpotensi Picu Pengurangan Tenaga Kerja

JAKARTA – Rencana pemerintah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada 1 Januari 2025 dikhawatirkan akan mengurangi tenaga kerja, termasuk petani, di industri hasil tembakau (IHT).

Sebab, di tengah perlambatan ekonomi yang ditandai dengan resesi selama lima bulan berturut-turut, kenaikan biaya produksi berdampak langsung pada perputaran industri seiring menurunnya daya beli masyarakat.

“Kenaikan PPN hingga 12% tentunya akan berdampak pada biaya produksi. Kenaikan harga berpotensi besar meningkatkan harga produk akhir, karena semakin tinggi PPN maka harga bahan baku yang dibeli oleh produsen akan semakin meningkat,” publik Pengamat kebijakan Hananto Wibiso pada Rabu (4/12/2024) mengatakan, “Selain bahan baku, seluruh proses produksi juga akan terkena dampak kenaikan PPN.

Kenaikan PPN tersebut juga mencakup kenaikan PPN atas angkutan rokok yang meningkat menjadi 10,7% dari sebelumnya 9,9%. Jika dibiarkan, masyarakat berpotensi beralih ke rokok ilegal sehingga mengancam kondisi pekerja, petani, dan semua orang yang terlibat dengan IHT yang tercermin dari berkurangnya kemampuan membeli barang legal dengan bayangan pergeseran konsumsi. . .

Saat ini penerimaan negara dari cukai IHT mencapai Rp 213 triliun dengan rantai perekonomian yang melibatkan lebih dari enam juta jiwa. Jika tidak hati-hati, dampak negatifnya bisa melemahkan perekonomian untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8%.

“Produsen mempunyai kemampuan untuk menaikkan harga jual produknya, meskipun hal ini menimbulkan risiko eksploitasi pasar. Jika harga jual dinaikkan, permintaan bisa menurun yang akan mempengaruhi penjualan dan keuntungan perusahaan.” Permintaan dan keuntungan yang besar, memaksa produsen mengambil tindakan drastis seperti PHK untuk mengurangi biaya operasional, katanya.

Hal ini diperlukan untuk menjaga stabilitas pendapatan negara Mengingat kontribusi cukai rokok dalam menopang beban fiskal negara, maka kemampuan pemerintah dalam mempertahankan pendapatan negara perlu diperhatikan dalam konteks promosi rokok ilegal saat ini.

Berdasarkan hasil survei terbaru yang dirilis Indodata, jumlah rokok ilegal di Indonesia akan mencapai 46,95% pada tahun 2024 dan negara akan merugi sebesar Rp97,81 triliun. Namun perkiraan kerugian negara pada tahun 2022 sekitar Rp 53 triliun. Kementerian Keuangan juga mencatat kerugian negara yang sangat besar akibat rokok ilegal, mencapai Rp13,48 triliun pada tahun 2021.

Kerugian negara akibat rokok ilegal sangatlah besar. Padahal, negara membutuhkan sumber daya untuk pembangunan Persoalan rokok ilegal bukan hanya penerimaan negara, ada faktor lain, ada pekerja, petani dan lain-lain, kata Dennis TS Wahidin, Direktur Eksekutif Indodata, berdasarkan survei yang dilakukan pada 18 November 2024.

Kenaikan harga rokok menyebabkan beralihnya penggunaan rokok yang lebih murah, yang pada akhirnya berkontribusi pada penggunaan rokok ilegal. Untuk itu, pemerintah perlu berhati-hati dalam mengambil kebijakan yang berdampak pada kenaikan harga rokok karena berkaitan langsung dengan keberlangsungan angkatan kerja yang terlibat dalam perubahan pola konsumsi masyarakat ke rokok ilegal. Industri

Sebelumnya, ada keketatan yang dinilai berlebihan di IHT Selain hadirnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan (PP Kesehatan) yang melarang penjualan hasil tembakau dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan taman bermain anak, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan juga mendorong hal tersebut. rumus. Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Keamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik (RPMK Tembakau).

Pemerintah telah menerapkan keseragaman kemasan dalam rancangan peraturan Menteri Kesehatan sehingga menyulitkan konsumen dalam membedakan rokok halal dan ilegal. Kebijakan yang tidak ekonomis ini dapat mendorong tumbuhnya rokok ilegal yang akan mengancam keberlangsungan industri di tengah kondisi perekonomian yang tidak stabil.

Kebijakan lain, seperti rencana pemerintah menaikkan PPN menjadi 12%, mungkin berdampak langsung pada pekerja di sektor tembakau. Ke depan, regulasi yang dikembangkan harus didukung oleh kajian yang obyektif, komprehensif dan inklusif, didukung oleh data yang tepat, lengkap dan transparan.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *