Muhammad Irfanuddin Kunjawan
Dosen di Universitas Darunja
Sepanjang sejarah panjang peradaban manusia, kepemimpinan selalu menjadi landasan utama dalam membangun masyarakat yang beradab. Di Indonesia, konsep kepemimpinan mempunyai dimensi yang sangat filosofis. Dalam pidatonya yang berapi-api, Bang Karnot kerap menegaskan bahwa pemimpin adalah “juru bicara rakyat”. Namun, dalam praktiknya kita sering menjumpai pemimpin yang lebih mementingkan persoalan kekuasaan dibandingkan pelaksanaan mandat.
Seperti kutipan yang mengatakan, “Kepemimpinan yang sejati bukanlah tentang jabatan, tetapi tentang keberanian bertindak dalam iman dengan hati yang terbuka dan semangat bersyukur,” kita diingatkan akan hakikat kepemimpinan: tanggung jawab. Posisi hanyalah alat, bukan tujuan. Dalam konteks kehidupan pemerintahan Indonesia masa kini, pesan tersebut sangat relevan.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam dan budaya. Ironisnya, kekayaan tersebut seringkali tidak tercermin dalam kualitas hidup masyarakat. Salah satu akar masalahnya adalah krisis kepemimpinan. Jabatan publik yang seharusnya menjadi tempat pelayanan, seringkali dipandang sebagai jalan menuju kekuasaan dan kemewahan.
Kita tidak kekurangan pemimpin, namun sering kali kita kekurangan pemimpin yang terbuka dan mensyukuri kepercayaan yang diberikan kepada kita. Banyak di antara mereka yang terjerumus dalam euforia kekuasaan dan lupa bahwa di balik jabatan itu terdapat tanggung jawab yang besar. Akibatnya pelayanan publik terbengkalai, kesenjangan sosial meningkat, dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga publik menurun.
Krisis ini tidak hanya terjadi di tingkat nasional, namun juga di tingkat lokal. Kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah dan pejabat tinggi pemerintah menunjukkan bahwa kepercayaan seringkali dikesampingkan demi keuntungan pribadi. Padahal, seperti kutipan di atas, keberanian memimpin bukan hanya soal mengambil keputusan besar, tapi juga menjaga integritas di tengah godaan kekuasaan.
Dalam tradisi Indonesia, kepemimpinan tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai agama. Hampir semua agama yang dianut di negeri ini mengajarkan bahwa pemimpin adalah pelayan rakyat. Misalnya Islam memiliki konsep khilafah yang mengangkat manusia sebagai pemimpin bumi dengan tugas menjaga keharmonisan dan keseimbangan. Pemimpin sejati adalah mereka yang memahami bahwa kekuasaan adalah anugerah, bukan milik.
Hati yang terbuka dan semangat bersyukur adalah kunci untuk memenuhi perintah ini. Seorang manajer yang bersyukur tidak melihat posisinya sebagai peluang untuk memperkaya dirinya sendiri, namun sebagai cara untuk berbuat baik. Mereka mampu mendengarkan keluh kesah masyarakat dengan hati terbuka dan mengambil tindakan di segala bidang tanpa diskriminasi.
Jalan menuju kepemimpinan sejati
Untuk menciptakan kepemimpinan sejati di Indonesia, kita perlu melakukan beberapa langkah:
1. Pendidikan karakter pada pemimpin muda
Pendidikan tidak hanya memberikan pengetahuan tetapi juga membangun karakter. Generasi baru harus dididik untuk memahami bahwa kepemimpinan adalah tanggung jawab moral. Program pelatihan kepemimpinan harus menekankan pentingnya integritas, empati dan keberanian moral.
2. Transparansi dan akuntabilitas
Sistem pemerintahan yang transparan dan akuntabel merupakan landasan untuk memastikan bahwa para pemimpin bertanggung jawab atas setiap kebijakan yang mereka terapkan. Pengawasan publik dan penegakan hukum yang lebih kuat harus menjadi prioritas.
3. Menumbuhkan rasa syukur dan persatuan
Pemimpin yang bersyukur memandang keberhasilan bukan sebagai prestasi pribadi, melainkan hasil kerja sama seluruh elemen masyarakat. Mereka menghargai semua peran, mulai dari orang kecil hingga posisi strategis, sebagai bagian dari kesuksesan bersama.
Indonesia membutuhkan pemimpin yang lebih dari sekedar pegawai negeri. Kita membutuhkan orang-orang yang berani memimpin dengan hati terbuka, pikiran bersyukur, dan perasaan bahwa mereka adalah pelayan rakyat.
Sejarah mengajarkan bahwa pemimpin yang benar-benar mengabdi pada rakyat akan dikenang sebagai pahlawan dan yang hanya mencari kekuasaan akan dilupakan. Oleh karena itu, inilah saatnya untuk bekerja sama menciptakan budaya kepemimpinan sejati yang akan menjadi warisan tidak hanya bagi generasi ini tetapi juga bagi generasi mendatang.
Jika Indonesia ingin maju, kepemimpinan sejati bukan lagi sebuah pilihan melainkan sebuah kebutuhan.