Pasukan Pacitan kembali dibuat frustasi dengan perlawanan Pangeran Deponegoro dan pasukannya. Pada saat yang sama, pemberian tersebut membentuk aliansi dengan Belanda untuk merebut Diponegoro.
Pemberontakan konon terjadi di Babad Nagra Patjitan, karena pemerintahan Jogokaryo II dikabarkan bersekutu dengan Belanda di wilayah Glesong.
Setelah menerima kabar bahwa para pemberontak akan kembali beraksi, pertempuran pun dimulai. Saat itu Mas Munggong Jogokaryo II segera mengumpulkan pasukan
Jika sudah siap, mereka segera melanjutkan perjalanan ke Glazon, dimana Belanda dibawah pimpinan Mr. Van Wallisingen membantu tentara Pacitan, dan kabarnya pasukan mereka juga turut hadir.
Begitu pula Mas Wirodichromo, saudara laki-laki Mas Mutunggong Jogocario II; Mas Carrosudero, putra Mas Virodichromo, dan lainnya menjadikan diri mereka sebagai tentara.
Kisah Brang Weta Berdasarkan Babad Alit dan Babade Nagara Patjitan yang diterjemahkan oleh Klesono Hardjoseputro menceritakan bahwa setelah sampai di Glesung, mereka bergabung dengan pasukan Kabupaten Monconegoro dan Kompeni Belanda.
Tak lama kemudian, ribuan pasukan pemberontak yang dipimpin Pangeran Deponegoro tiba. Berbagai jenis genderang ditabuh dengan lantang berupa gong satu, ketiprak, thong-thong grit, maguru gangsa. Mereka bahagia untuk sementara waktu
Mereka maju. Selang beberapa waktu, pasukan pemberontak menyerang pasukan Mas Munggong Jogokario II. Suaranya terdengar tertawa.
Tindakan mereka seperti ikan yang berebut makanan di dalam air.
Pasukan Monkongoro dan Belanda sangat berkurang dan hampir dikalahkan. Mendengar sebagian besar pasukannya telah tewas, Mas Munggong Jogokaryo II menjadi murka, buta, dan siap mati di medan perang. Sebagian besar tentara pemberontak dibunuh oleh Mas Munggong.
Setelah melalui perjuangan yang panjang, Bupati Pacitan tumbang karena harus menghadapi banyak musuh. Sang pangeran akhirnya berhasil ditangkap oleh pasukan Diponegoro.
Mendengar saudaranya telah ditangkap musuh, Mas Virodikhromo melancarkan gelombang untuk menghancurkan musuh. Melihat sebagian besar prajuritnya tewas, Tuan Van Wolsingen meminjam nama Mass Cocrodivirio. Mass Cocrodivirio Tuan Van Wolsingen mengira dia akan bertarung dan menamainya.
Setelah Tuan Van Wallisingen menaiki kudanya, kuda tersebut dibawa pulang. Mas Kocrodivirio kemudian menghunus pedangnya dan maju ke arah tengah, namun tak lama kemudian Mas Kocrodivirio tewas dalam pertempuran.