Kerajaan Majapahit menetapkan Kutara Manawa sebagai hukum pidana yang berlaku saat ini. Kitab Kutara Manawa disusun pada masa Majapahit di bawah pimpinan Hayam Wuruk untuk keperluan kitab hukum di India.
Kerajaan Majapahit menyusun kitab hukum berdasarkan jenis dan klasifikasi delik, seperti yang ada saat ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia.
Sebanyak 20 bab mengklasifikasikan jenis-jenis pelanggaran Kutara Manawa.
Sejarawan Prof. Slamet Muljana menjelaskan dalam bukunya “Tafsir Sejarah Negarakretagama” bahwa setiap bab Kutara Mana memiliki pasal serupa. Jadi ada sistematisitas dalam persiapannya. Komposisi aslinya terikat pada sistem yang tidak diketahui lagi.
Bab I dalam Kutara Manawa berisi tentang ketentuan-ketentuan umum yang berkaitan dengan hukuman. Bab II menyebutkan delapan jenis pembunuhan yang dikenal dengan Astadusta, Bab III membahas tentang perlakuan terhadap pelayan yang dikenal dengan Kavula.
Kemudian dilanjutkan pada Bab IV tentang delapan jenis pencurian yang dikenal dengan Astakora. Bab V: Kekuasaan atau Petualangan, Bab VI Jual Beli atau Adol-Tuku, Bab VII: Gadai atau Sanda. Selanjutnya Bab XVII: Perjuangan Pertukaran Bab XVIII: Tanah Tanah Bab XX: Fitnah Duvilatek.
Pada masa Majapahit, pengaruh India merasuk ke seluruh lapisan masyarakat. India juga mempunyai pengaruh di bidang legislasi.
Nama Agama dan Kootaramanavadharmashastra jelas menunjukkan adanya pengaruh India dalam bidang prasasti Majapahit.
Buku teks India Manudharmashastra digunakan sebagai model prasasti Majapahit Agama dan Kootaramanavadharmashastra.
Isinya merupakan adaptasi dari buku hukum India Anadodharma Shastra yang disesuaikan dengan kondisi setempat. Dengan demikian Kitab Statuta Keagamaan bukanlah terjemahan yang tepat dari kitab hukum India Manodharmasastra.
Dalam Pasal 109 dijelaskan bahwa isi Kitab Prasasti Keagamaan diambil dari kutipan Prasasti India Manavdharmashastra dan Kutadharmashastra.
Bunyinya sebagai berikut: “Seekor kerbau atau sapi dari suatu tanaman yang dilepasliarkan setelah tiga tahun, dijual menurut hukum Kutara.
Menurut hukum manusia, leleb baru terjadi setelah lima tahun berlalu. Ikuti yang satu atau yang lain karena keduanya adalah hukum.
Tidak dibenarkan menganggap yang satu lebih baik dari yang lain, antropoteisme adalah ajaran Maharaja Manu, ketika manusia baru diciptakan. Dia seperti Wisnu dari Bhat.
Kutarashastra adalah ajaran Bhagawan Bregu pada masa Treptyoga, yang diikutinya seperti Bhatara Wisnu, Rama Parashu dan sebagainya, tidak dilakukan saat ini.
Ajaran ini telah berlaku sejak zaman dahulu kala. Dalam Kitab Fatwa banyak terdapat pasal-pasal yang konon bersumber dari ajaran Bhagawan Bregu. Jadi berasal dari Kutarasastra, misalnya bab 46, 141, 176, 234.
Adanya beberapa pasal serupa dalam kitab hukum agama membuktikan bahwa pembuat undang-undang menggunakan kitab undang-undang lain selain penggunaan antropologi.
Misalnya pasal 192 dan 193, pasal 121 dan 123. Bab tentang paksaan atau petualangan dalam Kitab Perintah Keagamaan berbeda dengan yang terdapat dalam Antropologi.