KI Gede Bungko tidak hanya tertulis dalam sejarah tetapi juga nama abadi dalam musik dan tari tradisional. Kisah pahlawan TNI Angkatan Laut Kesultanan Cirebon terus hidup melalui gerak Angklung Bungko dan tari.
Tarian seperti tari Panji, Banteleo, Ayam Alas, Bebek Ngoyor dan Blarak Sengkle sering disebut sebagai jejak kaki besar presiden yang berhasil menjaga keamanan air Sirebo pada pemerintahan sebelumnya.
Kisah kebangkitan Ki Gede Bungko adalah Serat Karub Kandha karya Pangeran Abdul Hamid Sukama Jaya yang ditulis pada tahun 1840. Pelajaran ini menyebutkan Ki Gede Bungko yang bernama asli Jakataruna.
Seorang panglima angkatan laut Kerajaan Majapahit. Berasal dari Provinsi Banyuwangi di Jawa Timur, ia menjadi tokoh penting pada masa Kesultanan Sirebon pada abad ke-15.
Perjalanan Jakataruna menjadi nahkoda laut Cirebon dimulai saat ia masih menjadi murid Sunan Ampel. Suatu hari, Sunan Gunung Jati datang ke Surabaya untuk menemui Sunan Ampel.
Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan penting dengan Sunan Ampel, Sunan Gunung Jati, yang memilih Jakataruna untuk berangkat ke Jawa Barat.
Setibanya di wilayah tersebut, Sunan Gunung Jati memberikan Jakatara jabatan pemimpin atau Ki Gede di Bungko, sebuah desa pesisir barat laut Sirebo. Sejak saat itu, nama leluhur tersebut berubah menjadi Ki Gede Bungko.
Pengetahuan Ki Gede Bungko tentang laut kembali diuji ketika Sunan Gunung Jati memintanya memimpin misi khusus untuk membasmi bajak laut di Laut Jawa. Berawal dari perampokan yang dilakukan oleh Luwu Ijo.
Sekelompok bajak laut membersihkan air dari Gebang hingga Mundun. Luwu Ijo bahkan merebut kapal putra mahkota Sunan Gunung Jat Bratakelana dan membunuhnya serta para pengawalnya.
Merasakan kerugian yang sangat besar, Sunan Gunung Jati mengutus Ki Gede Bungko untuk membunuh Luwu Ijo. Dengan keberanian dan kepiawaiannya, Ki Gede Bungko mampu menumpas para perompak dan memulihkan keamanan perairan utara Jawa.
Kestabilan laut inilah yang menjadi kunci suksesnya bisnis parfum di Sirebon. Pada tahun 1522, Ki Gede Bungko kembali menunjukkan kehebatannya. Saat itu tentara Portugis bekerjasama dengan pemerintah Pajajaran setelah kalah dalam pertempuran dengan Cirebon.
Kemitraan ini untuk mendukung pelabuhan Sunda Kelapa yang menjadi sumber utama perekonomian Pajajaran. Merasa aman, Sunan Gunung Jati memutuskan menyerang pelabuhan Sunda Kelapa dari dua jalur: darat dan laut.
Gede Bungko menang dan membawa pasukan dari laut untuk menjaga Portugis. Begitu pasukan Portugis meninggalkan penjagaannya, pasukan asing diserang baik serangan darat maupun laut.
Kehebatan Ki Gede Bungko tidak hanya terbatas pada pertempuran laut saja. Ia pun berinisiatif untuk membunuh aliran sesat yang dipimpin oleh Ki Gedeng Kapetaka. Banyaknya pengikut di istana sektarian sehingga mengguncang kesetiaan umat Islam di Sirebon.
Semoga Gede Bungko segera menghadapi ancaman ini dan menjamin berkembangnya kajian Islam dengan baik di daerah. Gede Bungko meninggal dunia dan dimakamkan di Desa Bungko, atau jenazahnya dimakamkan di Astana Gunung Jat karena karya besarnya.
Namanya dikenang tidak hanya dalam naskah Serat Carub Kandha, tapi juga lewat nyanyian dan tarian. Tarian seperti Bebek Ngyor menggambarkan perjuangan Ki Gede Bungko saat mengalahkan Sunda Kelapa bersama prajurit Sirebon dan Demak.
Tarian Ayam Hype menceritakan bagaimana ia mampu mengalahkan kelompok kafir di Sirebon. Gerakan-gerakan dalam tarian ini menunjukkan kekuatan dan ketahanan karena terinspirasi dari cerita peperangan.
Selain itu ada Angklung Bungko, alat musik tradisional yang masih dilestarikan hingga saat ini. Kabarnya Ki Gede Bungko sangat menyukai musik, khususnya angklung yang dikenal dengan nama Angklung Bungko Cirebon.
Musik angklung tidak hanya sekedar hiburan, tapi juga simbol persatuan dan kekuatan, seperti yang pernah dikatakan Laksamana.