Letkol Dhomber, putra asli keluarga Dayak asal Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, memiliki catatan tempur yang luar biasa dalam sejarah Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU). Meski berpangkat letnan kolonel, namun keberaniannya melawan penjajah Belanda menjadikannya salah satu orang yang paling disegani di TNI AU, di kalangan nama-nama besar seperti Adi Sutjipto, Halim Perdanakusuma, dan Abdulrachman Saleh.
Berjuang sejak usia muda, Dhomber berpartisipasi dalam misi berani untuk memulihkan pulau Kalimantan dari pendudukan Belanda dan mengubah dirinya menjadi orang Filipina.
Dikutip dari situs TNI AU, Sabtu (10/5/2024), Dhomber mulai berperang pada usia 15 tahun. Tahun itu ia meninggalkan kampung halamannya, Kalimantan, menuju pulau Jawa untuk bergabung dengan pemuda lain dari Kalimantan dan berperang bersama Surabaya untuk mengusir penjajah.
Perjuangan Dhomber bersama para pemuda tersebut adalah merebut pulau Kalimantan yang dikuasai pasukan NICA (Belanda). Pulau Kalimantan menjadi salah satu tujuan atau batu loncatan para penjajah untuk menguasai seluruh wilayah Indonesia.
Pada masa Perang Dunia II, Pulau Kalimantan menjadi titik konflik antara Jepang dan sekutunya, dan pada tahun 1943, Jepang berhasil merebut Pulau Kalimantan dari Belanda. Namun kekuasaan Jepang hanya bertahan dua tahun.
Pada tahun 1945, Jepang kalah perang dengan Amerika, dan pulau Kalimantan jatuh ke tangan Amerika. Bersamaan dengan masuknya pasukan Amerika, Tentara Belanda (NICA) bergabung dan memperkuat posisinya di Kalimantan. Belanda juga bekerja keras dan menganiaya masyarakat Kalimantan.
Pada tanggal 24 Oktober 1945, Amerika Serikat menyerahkan Kalimantan kepada Tentara Belanda (Nica). Masyarakat Kalimantan yang tidak menyukai tentara Belanda mulai berperang dengan tentara Belanda (NICA) dan meminta bala bantuan dari Pulau Jawa.
Ekspedisi kemudian dikirim dari Jawa untuk merebut Kalimantan dari NICA. Namun karena kurangnya kesatuan komando, banyak ekspedisi yang dikirim pemerintah Indonesia dari Pulau Jawa gagal.
Keruntuhan ini disebabkan adanya blokade kapal perang Belanda di perairan Pulau Kalimantan. Embargo tersebut dimaksudkan untuk mencegah pejuang Indonesia dari tempat lain memasuki Pulau Kalimantan. Oleh karena itu, masyarakat Kalimantan yang saat itu dipimpin oleh Gubernur Kalimantan Ir Mohammad Noor meminta bantuan Pulau Jawa untuk membantu masyarakat Kalimantan mengusir Belanda.
Gubernur Kalimantan merasa bertanggung jawab atas pembebasan pulau Kalimantan dari tangan Belanda dan ia mendapat dukungan yang diperlukan dari seluruh masyarakat Dayak Kalimantan. Ia bertemu dengan Mayor Tjilik Riwut, seorang perwira militer (MBT) yang baru saja memimpin rombongan ekspedisi mereka di gurun Kalimantan. Dari hasil pertemuan tersebut, Pangeran Muhammad Noor memutuskan bahwa satu-satunya cara untuk mendapatkan bantuan dari Jawa melalui jalur udara adalah dengan mengerahkan pasukan terjun payung di Kalimantan.
Sayangnya, saat melakukan perjalanan dari Yogyakarta menuju Jakarta sebagai anggota delegasi pemerintah Indonesia, Pangeran Mohammad Noor berada di kereta yang sama dengan Kepala Staf Udara (KSAU), Komodor Udara Suryadi Suryadarma. Ia mengungkapkan keinginannya untuk mengerahkan pasukan terjun payung di hutan Kalimantan.
Doa terbaik Pangeran Mohammad Noor diterima oleh Komodor Udara Suryadi Suryadarma. Staf Khusus Pasukan Terjun Payung Republik Indonesia dibentuk di bawah pimpinan Panglima TNI AU Suryadi Suryadarma, dan diangkat menjadi Panglima Besar Tjilik Riwut yang lahir dan besar di Kalimantan.
Berdasarkan Perintah Harian Panglima Jenderal Sudirman Nomor 232/PB/47/I, Komodor Udara Suryadi Suryadarma segera melakukan persiapan pengerahan pasukan terjun payung ke Kotawaringin, Kalimantan Timur. Terpilih 60 orang untuk diturunkan sebagai pasukan terjun payung, semuanya dari Kalimantan, termasuk Dhomber. Dua belas orang berasal dari Sulawesi dan sebagian dari Pulau Jawa.
Usai pencalonan, dilantik 12 personel yakni Iskandar, Dachlan, J Bitak, C Willems, J Darius, Achmad Kosasih, Bachri, Ali Akbar, M Amiruddin, Emanuel, Morawi dan Djarni yang semuanya berasal dari Kalimantan. Mereka mengikuti pelatihan selama seminggu bersama pelatih Angkatan Udara Republik (AURI) yang dipimpin Perwira Penerbangan I Sudjono.
Pada tanggal 17 Oktober 1947, pasukan terjun payung bersiap dengan segala perlengkapannya di dekat lapangan terbang Maguwo. Rencananya, mereka dilepas dengan pesawat Dakota C-47 RI-002 yang dikemudikan oleh Robert Earl Freberg, warga negara Amerika. Selain itu, anggota TNI AU yang mempunyai tugas khusus mengoperasikan Radio PHB juga berada di dalam pesawat tersebut, antara lain Kapten Udara Harry Hadisumantri, seorang mekanik radio dan Kapten FM Sujoto, seorang spesialis telegraf Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI). ). .
Sebelum lepas landas, Komodor Udara KSAU Suryadi Suryadarma memberikan instruksi kepada para penerjun payung. Dhomber tidak bergabung dengan pasukan terjun payung yang dilepaskan oleh Staf Angkatan Darat, namun keesokan harinya, pada tanggal 18 Oktober 1947, Dhomber diterbangkan ke Kalimantan dengan pesawat Dakota C-47 melalui Filipina dan kemudian memasuki Kalimantan Timur dengan kapal tersebut. .
Tugas utama Dhomber adalah mengorganisir gerakan perlawanan di Kalimantan Timur. Ada 12 orang dipimpin Moeharto dan anggotanya; Soeharnoko Harbani, Soenaryo, Bambang Saptoadji, Boedihardjo, Moelyono Adikusuma dan Dhomber.
Dhomber yang pertama kali tergabung dalam kelompok MN 1001 pimpinan Tjilik Riwut akan memimpin kelompok tersebut memasuki wilayah Kalimantan Timur yang dikuasai tentara NICA Belanda dan membangun jaringan mata-mata serta mengorganisir gerakan gerilya di Kalimantan. Khusus di Kalimantan Timur, wilayah Kesultanan Bulungan berbatasan langsung dengan Sabah (British North Borneo) dan Filipina bagian selatan di sekitar pulau Sulu dan Mindanao.
Kawasan ini pernah digunakan Sekutu untuk membangun jaringan mata-mata sebagai persiapan perebutan Pulau Tarakan dari Tentara Jepang sekitar tahun 1943, yaitu pada Operasi Pyiton dan Operasi Tupai pada bulan April 1944.
Di atas kapal De La Rama Shipping Company, MV Northen Hawker, Dhomber dan Moelyono Adikusuma berlayar menuju Kalimantan Timur, kemudian diduduki oleh NICA, termasuk Kesultanan Bulungan. Rutenya dari Manila menuju Kota Cebu, dilanjutkan ke Bais Dumaguete (Negros Occ), lalu ke Zamboanga, lalu ke Cotabato dan dilanjutkan ke Jolo.
Dari Kota Jolo sewa perahu menuju Pulau Tawi-Tawi, dilanjutkan ke Ungus Matata, Pulau Tandubas, lewat Bonggao, Tambisan, Samporna, Lahad Dato, dilanjutkan ke Tarakan lalu ke Tanjung Selor (Bulungan).
Pada tanggal 30 November 1947 rombongan tiba di Tanjung Selor-Bulungan. Saat itu perayaan Berau digelar oleh Sultan Bulungan ke-10, Sultan Djalaluddin. Saat mereka sibuk menjadi tuan rumah perayaan tersebut, intelijen NICA tidak menerima kabar tentang kedatangan mereka. Saat berbicara, Dhomber selalu menggunakan bahasa Solog (Sulu) dan berpura-pura tidak bisa menguasai bahasa Melayu.
Selain itu, Dhomber mengganti namanya menjadi Jose Sabtall bin Moehamad Djamil. Cara ini berhasil mengelabui badan intelijen NICA. Dipastikan, saat mereka mengurus dokumen perjalanan untuk melanjutkan perjalanan ke Derawan, pihak kepolisian NICA pun memberikannya tanpa ragu.
Statusnya sebagai orang Filipina membuat mereka leluasa membuka jaringan pos diplomatik di Tawao dan mengatur komunikasi dengan pejuang Indonesia di Filipina, Labuan, Singapura, Nunukan, Tarakan, Balikpapan. Mereka juga mulai berkolaborasi dengan pejuang Kalimantan Selatan dan Dayak Besar.
Mereka mengumpulkan data-data yang mereka anggap penting, mengenai kesiapan pasukan KNIL, otoritas lokal NICA dan lembaga NICA lainnya, termasuk budaya politik, sosial dan ekonomi. Segala kegiatan intelijen prajurit Indonesia di Kalimantan Timur, khususnya di wilayah Kesultanan Bulungan pada masa Operasi Aksi Kalimantan 1947, dilaporkan Dhomber dalam surat yang ditujukan kepada Direktur Mako Brimob MN 1001 Angkatan Darat di Yogyakarta.
Keberhasilan operasi militer pertama pasukan terjun payung AURI yang terjun payung ke Kalimantan pada tanggal 17 Oktober 1947 dan keberhasilan tentara Indonesia menerobos blokade Belanda hingga pendaratan terakhir di Manila, Filipina pada tanggal 18 Oktober 1947, Kalimantan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, membuka mata dunia yang tak terpisahkan. Berita ini sangat mengejutkan dan menjadi topik utama pemberitaan di beberapa surat kabar di Belanda.
Pada tanggal 6 Desember 1947, Mayor Tjilik Riwut selaku komandan MN 1001 MBT diperintahkan untuk membentuk Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Kalimantan baik dalam bentuk militer maupun resimen dengan tujuan untuk memperparah konflik di Kalimantan. Menindaklanjuti perintah tersebut, Mayor Tjilik Riwut mengirimkan delegasi untuk memperingatkan pembentukan TNI di Kalimantan.
Rombongan yang dikirim ke Kalimantan adalah Domay Agan, Wakil Kepala Staf MN 1001 TNI Angkatan Darat sebagai petugas patroli; Letnan Abdusjukurrachim, selaku Wakil Panglima Wilayah Kalimantan Selatan; Letnan Monopol Mohammad, sebagai Petugas Dinas Rahasia wilayah Sampit; Dhomber, pemuda asal Kalimantan terlibat dalam organisasi gerakan militan di Kalimantan.
Dhombern yang menjadi bagian sejarah perjuangan bangsa Indonesia di Kalimantan Timur mendapat tempat di TNI AU. Kiprahnya yang baik mengantarkan Dhomber menjadi ahli perang udara di Kalimantan, yakni ketika menjadi Panglima Detasemen TNI AU Balikpapan pada tahun 1958. Pada tahun 1961-1963, Dhomber dipercaya menjadi Komandan Pangkalan Udara Iskandar Muda (Pangkalan Bun). .) di Kalimantan Tengah.
Jabatan yang dijabat Dhomber setelah bergabung dengan TNI AU setelah mengikuti Sekolah Para Angkatan Angkatan Udara di Maguwo pada tahun 1947, Anggota ADPAU PST MBAU pada tahun 1952, Kepala Bagian Intel KPU BPD pada tahun 1954, Direktur Lanud Balikpapan pada tahun 1958. , Direktur Pangkalan Udara Balikpapan pada tahun 1958. KPU Pangkalan Bun 1960, Direktur DP Panglima Korud II Kalimantan 1966, Direktur Udara Sjamsudin Noor 1967, Anggota DPRD Tk. Di Provinsi Kalimantan Selatan 1968-1971, Pamen DP Lanud Syamsudin Noor berpangkat Letnan Kolonel dan pensiun pada tahun 1979.
Namun penghargaan Dhomber antara lain Satyalancana Loyalty VIII Star, Satyalancana Sapta Marga, Satyalancana Wira Dharma, Satyalancana Loyalty
Dhomber meninggal dunia pada tanggal 5 November 1997 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Indra Pura Pangkalan Bun. Untuk mengenang jasa-jasa Dhomber, nama Dhomber diabadikan menjadi nama pangkalan udara di Kalimantan Timur.
Sesuai perintah Dirjen Pangkalan TNI AU Nomor Kep/660a/VI/2018 tanggal 11 Juli 2018, nama bandar udara yang tadinya bernama Lanud Balikpapan diubah menjadi Lanud Dhomber, dahulunya Lanud Dmb. . Pada tanggal 26 Juli 2018, Pangkalan Udara Dhomber didirikan oleh KSAU.