Kisah Pangeran Diponegoro Marah Besar ke Sultan Muda Keraton Yogyakarta Akibat Hilangnya Tradisi Jawa

Kisah Pangeran Diponegoro Marah Besar ke Sultan Muda Keraton Yogyakarta Akibat Hilangnya Tradisi Jawa

YOGYAKARTA – Pangeran Diponegoro mendapat pelayanan istimewa saat Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IV naik takhta di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau Keraton Yogyakarta.

Sri Sultan HB IV yang masih muda memaksa Pangeran Diponegoro untuk mengajarinya banyak hal, salah satunya bahasa Melayu.

Namun nampaknya sang Sultan muda masih kesulitan untuk mengintegrasikan nasehat Pangeran Diponegoro.

Bahkan ketika didatangkan guru khusus bahasa Melayu bernama Letnan Abbas, hingga sembilan bulan berikutnya, ia masih belum bisa berkomunikasi dengan baik.

Sri Sultan HB IV selain berguru pada Pangeran Diponegoro, ia juga berguru pada guru khusus.

Guru ini mengajar raja muda Melayu yang baru saja mulai menjadi raja di taman Yogya. Hal ini terlihat ketika Raffles melakukan kunjungan singkat ke Keraton Yogya, pada pertengahan Januari 1816.

Saat itu, Sri Sultan HB IV mengeluarkan proklamasi. Faktanya, generasi muda Sultan kurang memiliki minat terhadap pendidikan.

Namun ia senang melukis, menunggang kuda, bahkan mendengarkan gamelan Jawa, seperti Babad Keraton Yogyakarta.

Dinamakan dalam buku “Takdir Sejarah Pangeran Diponegoro 1785 – 1855”, karya sejarawan Peter Carey, ciri lain sultan muda yang kontroversial ini adalah gemar memakai tentara Eropa.

Oleh karena itu, sulit bagi para pemimpin bisnis di Yogyakarta untuk memaksanya tidak mengenakan pakaian Eropa.

Sebenarnya ada banyak adat istiadat yang disakralkan, salah satunya adalah garebeg yang tidak boleh memakai pakaian Eropa, melainkan pakaian Jawa.

Untuk beberapa waktu memerintah di keraton Yogya, Sultan HB IV menikah. Ia menikah dengan putri Adipati Danurejo II yang terbunuh, pada tanggal 13 Mei 1816.

Pernikahan ini dirayakan secara besar-besaran dengan menampilkan wayang tiga hari berturut-turut, menceritakan kisah dan gaya wayang yang berbeda.

Serial ini diadaptasi dari pertunjukan Panji (wayang gedog), Menak (wayang jemblung), dan Damar Wulan (wayang krucil).

Tak lupa juga ada topeng Tionghoa (jenggi) dan gambyong yang ditampilkan di akhir pertunjukan wayang, acara ditutup dengan pertunjukan kembang api Tionghoa.

Adapun ratu muda bernama Ratu Kencono dikatakan sebagai wanita yang cantik dan jelita.

Namun kemudian dia menderita penyakit jiwa, kesehatan mentalnya sangat terguncang. Hal itu terjadi ketika dia menikam seorang selir hingga terluka. Seorang wanita, ibu ratu memintanya untuk tidur dengannya, ketika dia baru berusia 13 tahun.

Keputusan ini memancing protes keras dari Pangeran Diponegoro yang membuatnya menulis laporan keras kepada Ratu.

Hal ini pula yang menjadi penyebab praktik korupsi Kesultanan Yogya. Kemudian ditutup oleh Van Hogendorp yang mengusulkan konstitusi baru pemerintah Belanda yang mengubah istana menjadi rumah sakit.

Oleh karena itu, dapat dimengerti mengapa Pangeran Diponegoro berkeyakinan kuat bahwa Candi Yogya harus dihancurkan, hingga batu terakhirnya.

Pasalnya, para perwira Jawa yang dianggapnya pemberontak Kristen akan diambil. Ini tentang cara baru dalam melakukan sesuatu sesuai hukum Islam dan nilai-nilai budaya Jawa.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *