Yogyakarta – Pada masa pemerintahan Sultan Hemmingku Buono (HB) II, istana Kesultanan Ngayogkarta Hadiengrat atau Keraton Yogyakarta menjadi rumah bagi sekelompok besar penembak jitu.
Unit penembak jitu ini menggunakan tombak dengan ujung tajam yang selalu siap bertarung.
Pada tahun 1812, pasukan elit ini juga berperan besar dalam penyerangan tentara Inggris ke Keraton Yogyakarta.
Penyerangan tentara Inggris ke keraton Yogyakarta bernama Gigar Sephi menunjukkan kepiawaian dan kepiawaian para prajurit elit keraton.
Tombak yang tajam dan ajaib menjadi andalannya. Sementara itu, para prajurit ini sedang menunggang kuda dan maju pesat di bawah arahan pasukan Inggris.
Pasukan ini juga menyerang barisan militer dan membakar jembatan yang dilintasi pasukan Inggris. Komandan pasukan penembak jitu keraton Yogyakarta, Radin Ario Sindorijo I, dilatih untuk menyerang pasukan Inggris.
Menurut “Sejarah Takdir Pangeran Dipongoro: 1785 – 1855” karya Peter Carey, Radon Ario Sindurijo II berhasil memimpin pasukan Kumbash yang terlatih untuk melawan serbuan kavaleri Inggris.
Pasukan kavaleri ini bertugas mengamankan masuknya pasukan Inggris ke perbukitan Kali Gajahaung di Paparingaan, Yogyakarta.
Pasukan Inggris yang beranggotakan 25 orang kehilangan lima tentara dan 13 orang terluka parah, termasuk seorang perwira Inggris.
Aksi ini menunjukkan betapa efektifnya para prajurit bersenjatakan tombak dari Jawa, maju dengan disiplin yang sempurna.
Mereka hanya mempersenjatai diri dengan tombak yang sangat panjang dan ujungnya tajam. Pasukan ujung tombak ini berhasil menghancurkan kavaleri Eropa sebelum mereka sempat memuat senjata karabinnya.
Namun perbuatan Sindurijo tidak akan terulang kembali. Seandainya hal ini terulang, serangan Inggris ke Yogya mungkin akan berbeda ceritanya, dengan jumlah korban yang lebih banyak.
Ketika total kekuatan penyerang adalah 20 persen, Inggris menjadi korban dari pengalaman Mr. Cornelius.
Namun hal itu tidak terjadi, Inggris hanya kehilangan 23 tentara termasuk satu perwira dan sedikitnya 74 lainnya luka-luka dari seribu total pasukan penyerang.
Jadi rata-rata angka kematian di pihak Inggris hanya di bawah 10 persen, dibandingkan dengan ratusan orang yang meninggal di pihak Kerajaan.
Pada hari penyerangan Sindurijo II, juru bahasa Gubernur Jenderal Inggris Raffles di kediaman Semarang, C.F. Kriegsman menyampaikan ultimatum kepada Sultan.
Jika Putra Mahkota tidak mengundurkan diri dalam waktu dua jam, Inggris mulai membombardir istana dengan meriam. Sultan mendekati Putra Mahkota dan menanyakan apakah ia siap memenuhi tuntutan Inggris.
Putra mahkota dengan tegas menolak, dan Sultan menulis surat berukuran besar tentang penolakannya. Notakusumu kemudian diminta menjelaskan mengapa dia baru saja pindah ke pihak Inggris.
Pengeboman artileri Inggris berlanjut sepanjang sore dan malam hari.