Bondan Kejwan adalah seorang pangeran Majapahit yang hampir tidak dikenal dengan kisah tragis. Tumbuh dalam bayang-bayang keagungan Prabu Bravijaya, Bandan Kejwan terancam menjadi korban ramalan kelam tentang runtuhnya kerajaan Majapahit.
Cerita bermula ketika Prabu Brawijaya, raja terakhir Majapahit, mengalami mimpi buruk. Mimpi tersebut memperingatkan akan peralihan cahaya kerajaan, menandakan bahwa kejayaan Majapahit akan berakhir dan digantikan oleh kerajaan lain.
Lebih lanjut ramalan tersebut mengungkapkan bahwa untuk bisa sembuh dari penyakit misterius yang dideritanya, raja harus memenuhi syarat khusus untuk bisa bergaul dengan calon istri Putri Dwarvati, Putri Vandana.
Hal itu terungkap dalam buku “Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Munculnya Negara Islam di Nusantara”. Meski awalnya skeptis, Prabu Bravijaya memenuhi persyaratan tersebut. Sembilan bulan kemudian, Putri Wandon melahirkan.
Namun alih-alih menerima anak tersebut sebagai anak sah, Prabu Bravijaya menceraikan Putri Vandan dan memberikan anak tersebut kepada Kamdar ki Mashar, seorang petani padi.
Raja juga memberikan perintah yang kejam: ketika anak itu berusia delapan tahun, dia harus dibunuh untuk mencegah penyampaian wahyu kerajaan yang diramalkan dalam ramalan tersebut.
Ki Mashar membawa pulang anak itu dan merawatnya bersama istrinya Nyi Mashar.
Mereka menamai bayi tersebut Bondan Kejwan. Bondan tumbuh dengan penuh cinta, tanpa mengetahui bahwa nasibnya sudah ditentukan sejak lahir. Namun seiring bertambahnya usia Bundan, Ki Masahar mulai merasakan tekanan akan janjinya kepada raja.
Pada hari yang telah ditentukan, Ki Masahar ingin memenuhi janjinya untuk membunuh Bandhan Kejwan dengan berat hati. Namun saat melihat suaminya membawa mangga, Nee Mashar pingsan karena ketakutan dan kesakitan.
Melihat reaksi istrinya, Ki Masyar tak kuasa melanjutkan perbuatan kejamnya itu. Pada akhirnya, dia memutuskan untuk berbohong kepada raja dan menyembunyikan identitas Bondon sebagai putranya.
Selama bertahun-tahun, Bondon tumbuh menjadi pemuda yang bijaksana dan kuat. Suatu hari, tanpa sepengetahuan ayah angkatnya, Bondan mengikuti rombongan pekerja panen menuju Istana Majapahit.
Di sana, Bondan tertarik dengan gamelan pusaka bernama Sekar Dalima, hadiah dari Raja Kampa yang hanya bisa dimainkan pada saat-saat suci. Karena tidak mengetahui aturannya, Bondan mulai memainkan gamelan.
Suara gamelan Sekar Dalima menggema di seluruh istana, membuat takut semua orang di kerajaan. Lord Brawijaya segera memerintahkan prajuritnya untuk mencari tahu siapa yang berani memainkan gamelan turun temurun tersebut.
Bondan ditangkap dan dibawa ke hadapan raja. Saat ditanya identitasnya, Bondon mengungkapkan bahwa dirinya adalah anak Kamdar Ki Masahar, seorang petani padi yang mengabdi pada negara. Saat Prabu Bravijay melihat Bondan, ia merasakan sesuatu yang aneh.
Raja merasakan ikatan batin yang kuat dan curiga bahwa Bandhan adalah anak yang memerintahkan pembunuhan Kejwan. Setelah mendengar cerita Masyar, Prabhu Bravijaya akhirnya menyadari bahwa Bandhan Kejwan adalah darah dagingnya.
Namun alih-alih marah, raja malah merasa putranya terselamatkan dari nasib buruk. Sebagai bentuk apresiasi dan kasih sayang, Prabu Bravijaya menghadiahkan dua keri pusaka kepada Bondan, Mahisa Nuar dan Malela.
Ia kemudian memerintahkan Ki Masyar untuk membawa Bandhan Kejwan, seorang tokoh spiritual penting pada masa itu, kepada Ki Ageng Tarub. Masahar ini segera menuruti perintah itu dan membawa Bandhan Kejwan ke Tarub.
Di sana, Bondan diterima dengan baik oleh pemuka spiritual yang disegani, Ki Ageng Tarub. Bahkan, Bondan kemudian diadopsi oleh Ki Ageng Tarub sebagai menantu dan dinikahkan dengan cucunya Daya Nawang Sih.
Diah Nawang Sih sendiri merupakan keturunan langsung dari Nawang Wulan, bidadari dari kayangan yang menjadikan Bondan Kejwan sebagai bagian dari silsilah gaib yang diyakini memiliki kekuatan spiritual.
Pernikahan Bondan Kejwan dengan Diah Nawang Sih melahirkan generasi baru yang menjadi bagian sejarah besar nusantara. Ki Ageng Pemnahan dan Panembahan Senapati beserta keturunannya.
Ia menjadi tokoh penting dalam sejarah berdirinya Kesultanan Mataram, kerajaan yang kemudian menggantikan Keagungan Majapahit di Pulau Jawa.