Dikisahkan Khayam Vuruk, raja Majapahit, dan mahoutnya Gaja Mada memiliki hubungan yang buruk setelah Perang Bubat. Perang Bubatka berujung pada gagalnya rencana pernikahan Khayam Wuruk dengan putri Raja Zonda, Dyah Pitaloka Citraresmi.
Tak hanya itu, pihak pernikahan dari Kerajaan Zonda pun ikut meninggal, termasuk orang tua Dyah Pitaloka Chitraresmi, serta pejabat penting Kerajaan Zonda. Peperangan saat itu terjadi karena Gajah menginginkan Mada Zonda yang belum mampu ditaklukkan oleh Majapahit.
Gajah Mada melihat momen pernikahan kepala sukunya dengan raja Zonda sebagai sarana penaklukan politik kerajaan Zonda. Hal ini menyebabkan Gaja Mada dijadikan kambing hitam atas gagalnya pernikahan Hayam Wuruk.
Konon pasca peristiwa Bubat, Khayam Vuruk masih meneruskan tradisi blusukan di wilayahnya. Alat pemadam api miliknya konon diarahkan ke timur ibu kota kerajaan Majapahit pasca peristiwa Bubat.
Selain menyerap aspirasi rakyatnya, Khayam Vuruk ingin menjamin keamanan wilayahnya. Pasalnya, wilayah Lamajang yang dipimpin oleh Raja Majapahit sering dilanda perang, keamanan, dan ketidakstabilan politik. Konon Raja Majapahit melakukan kunjungannya yang ketiga setelah Perang Bubat.
Konon Gaja Mada yang beristirahat pascakesalahan Perang Bubat juga ikut mendampingi Khayam Wuruk dan rombongan kerajaan dalam kunjungan tersebut. Mansoor Hidayat dalam penjelasannya di Arya Wiraraja dan Lamajang Tigang Juru, dikutip Senin (07/10-2024), kunjungan tersebut terjadi pada tahun 1359 M di bekas kerajaan Lamajang Tigang Juru.
Selain dua pejabat terpenting yakni Khayam Wuruk dan Gaja Mada, kunjungan ke Lamajang juga dihadiri para menteri, pendeta, pendeta, penyair, abdi dalem, serta didampingi ribuan personel TNI. Delegasi besar ini melakukan kunjungan diplomatik yang sangat penting, karena kawasan ini sering mengalami gejolak.
Dalam kunjungan kali ini, rombongan Kerajaan Majapahit menghabiskan waktu selama tiga bulan untuk menjelajahi wilayah timur ibu kota Majapahit. Rombongan kemudian melanjutkan perjalanan ke Malang dan Pasuruan, wilayah utama Kerajaan Majapahit.
Rombongan kemudian berturut-turut melintasi Pavijungan yang diyakini berada di Kecamatan Bantaran (selatan Prabaling), kemudian turun ke Pesavahan (Kecamatan Sawaran), melintasi persawahan dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Jaladipa, Talapika dan Padali, yang kini dapat diidentifikasi. sebagai kecamatan Ranu Bedali (Ranuyoso dan Klakah Sekarang).
Kemudian melalui Arnon (Biting/Kutarenon), ibu kota, langsung ke Pangulan (sekarang diperkirakan Panjunan atau Sukadona), ke Tepasena (sekarang diperkirakan Purwosana) dan pergi ke kota Rembang, yang dianggap sebagai kawasan Kandipura di mana pada zaman dahulu berada. merupakan bekas kompleks ibu kota Lamajang.
Rombongan kerajaan Majapahit kemudian melanjutkan perjalanan dan mengunjungi rakyatnya. Rombongan akhirnya sampai di Dampar yang letaknya di pinggir pantai. Di sini rombongan beristirahat panjang dan santai sambil mengagumi pemandangan pantai yang indah.
Dari Dampar, rombongan bergerak ke timur menuju Patunjungan (Desa Tunjunggrejo, Kecamatan Yosavilangun) dan Kasogatan Bairaka, bagian dari Kecamatan Taladwaja, dimana banyak warga yang mengungsi akibat seringnya terjadi peperangan. Warga tersebut memutuskan mengungsi untuk menghindari kehadiran rombongan besar, karena perang antara Majapahit dan Lamajang belum berhenti setelah 43 tahun.